Minggu, 04 Oktober 2009

Koleksi Artikel Pendidikan ( untuk mama gita )

I.
TEORI BELAJAR dan PEMBELAJARAN

1. PENGERTAN BELAJAR dan PEMBELAJARAN

Sebagian orang berpendapat bahwa Belajar adalah semata – mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta – fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Disamping itu menurut konsep skeener bahwa Belajar adalah proses beradaptasi atau menyesuaikan tingkah laku yang berlangsung secara prograsif.
Chaplin juga berpendapat bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relative menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman.
Hitzman juga berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme(manusia dan hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.Selain itu Belajar adal key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum.
Melihat pentingsa arti kata sebuah belajar seyogyanga seorang guru harus melihat hasil belajar siswa dari berbagai sudut psikologis yang utuh dan menyeluruh. Sehubungan dengan hal itu, seorang siswa yang menempuh proses belajar idwalnya ditandai dengan munculnya pengalaman – pengalaman psikologis yang baru . Pengalam ini diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sifat, siakp dan kecakapan yang konstruktif dan bukan kecakapan yang destruktif(buruk). Untuk mencapai hasil belajar yang ideal sepert diatas kemampuan peserta didik dalam membimbing belajar sisiwa mutlak sengat berpengaruh besar. Dalam hal itu, perlu untuk mengetahui teori teori dalam belajar.

TEORI DESKRIPTIF DAN TEORI PRESKRIPTIF

Bruner mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskriptif dan teori belajar adalah deskriptif. Preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, dan deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan di antara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau bagaimana seseorang belajar. Toeri pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar, atau upaya mengontrol variabel-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
Teori pembelajarn yang deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajarn sebagai givens, dan memberikan hasil pembelajaran sebagai variabel yang diamati. Atau, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai hasil variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai given, dan metode yang optimal ditempatkan sebagai variabel yang diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel tergantung.
Teori preskriptif adalah goal oriented (untuk mencapai tujuan), sedangkan teori deskriptif adalah goal free (untuk memberikan hasil). Variabel yang diamati dalam pengembangan teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan-pengembangan teori yang deskriptif variabel yang diamati adalah hasil sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi.


2. TEORI – TEORI BELAJAR

Seperti halnya yang disebutkan diatas sebagai upaya mewujudkan sebuah belajr dan pembelajaran yang baik dan sesuai, seorang pendidik khususnya harus mengetahui berbagi teori yang berkenaan dengan belaja dan pembelajaran. Ada berbagai teori tentang belajar yang meliputi :

1. TEORI BEHAVIORISTIK

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
a. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
b. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
c. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Teori Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Teori Opera Conditioning B.F. Skinner
Teori operant conditioning dimulai pada tahun 1930-an. Burhus Fredik Skinner selama periode teori stimulus (S)- Respons ( R) untuk menyempurnakan teorinya Ivan Pavlo yang disebut “Classical Conditioning”. Skinner setuju dengan konsepnya John Watson bahwa psikologi akan diterima sebagai sain (science) bila studi tingkah laku (behavior) tersebut dapat diukur, seperti ilmu fisika, teknik, dan sebagainya.
Skinner , belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar banyaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Teori Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

2. TEORI KOGNITIF

a) Teori kognitif piaget
Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Cognitive Development Theory)
Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interksi yangterus menerus antara individu dengan lingkungan.
Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar mulai anak-anak sampai dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget, duturunkan dari analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ=kecerdasan) adalah seperti system kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi.Menurut Piaget ada tiga perbedaan cara berfikir yang merupakan prasyarat perkekmbangan operasi formal, yaitu; gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan operasi nyata anak-anak dewas. Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu :
1) lingkungan fisik
2) kematangan
3) pengaruh sosial
4) proses pengendalian diri (equilibration)
Tahap perkembangan kognitif :
1) Periode Sensori motor (sejak lahir – 1,5 – 2 tahun)
2) Periode Pra Operasional (2-3 tahun sampai 7-8 tahun)
3) Periode operasi yang nyata (7-8 tahun sampai 12-14 tahun)
4) Periode operasi formal
Kunci dari keberhasilan pembelajaran adalah instruktur/guru/dosen/guru harus memfasilitasi agar pembelajar dapat mengembangkan berpikir logis.Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

b. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

3. TEORI BELAJAR GESTALT

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
a. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
b. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
c. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
d. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
e. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
f. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
a. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
b. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
c. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
d. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

a. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.


4. TEORI BERPIKIR SOSIAL (Social LEARNING THEORY)

Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.Bandura menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking),Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal.
Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan.
Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda.Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu.Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.
Tingkah laku dihadirkan oleh model - Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh model)
Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar)
Pemrosesan kode-kode simbolik.
Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan ) memegang peranan penting.
Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.


5. TEORI BELAJAR HUMANISTIK

Menurut Humanistik proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Oleh karena itu teori humanistic sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat , teori kepribadian dan psikoterapi. Teori humanistic sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistic cenderung bersifat elektrik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa tokoh penganut aliran humanistic diantaranya adalah
1) Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap dalam belajar, yaitu: pentektor, tgalaman konkrit, pengalaman aktif dan reflektif, pengalaman konseptualisasi, pengalaman eksperimentasi aktif.
2) Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi empat yaitu: aktivis, teoris, dan pragmais.
3) Hebermas, membedakan tiga macam atau tipe belajar yaitu: belajar teknis, praktis, dan emansipatoris.
4) Bloom dan Kratwold dengan tiga kawasan tujuan belajar yaitu: kognitif, psikomotor avektif.
5) Ausubel. Walaupun termasuk juga aliran kognitifisme dia juga terkenal konsep belajar. Konsepnya adalah belajar meaningfull learning.
Aplikasi teori humanistic dalam kegiatan pembeljaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan factor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.


6. TEORI BELAJAR KONSTRUTIVISTIK

Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang menmiliki kepekaan mandiri, bertanggungjawb, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang dapat melihat cirri – cirri manusia tersebut, dengan praktek – praktek pendidikan dan pembelajaran. Pandangan kontruvistik yang mengemukakan belajar adalah upaya pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilsi dan akomodasi yang menuju pada pembetukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah pada tujuan tersebut. Oleh karma itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembetukan tersebut secara optimal dalam diri siswa. Proses belajar sebagi suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses akomodasi dan asimilasi, akan membetuk suatu kontruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru – guru kontrotifistik yang menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk mengontruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar tejadi aktivistas kotruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristi pembelajaran yang dilakukannya adalah :
1) Membenaskan siswa dari belenggu kurikulum yng berisi fakta – fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide –idenya secara lebih luas.
2) Mmennempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya inters untuk membuat hubungan diantara ide – ide atau gagasanyakemudian mengformulasikan kembali ide – ide tersebut serta membuat kesimpulan – kesimpulan.
3) Guru bersama siswa mengkaji pesan – pesan penting bahwa dunia adalah komplek dimana terdapat bermacam – macam pandangan kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4) Guru mengakui bahwa dalam proses belajar dan peniliannya merupakan suatu usaha yang komplek, sukar dipahami, tidak teratur dan tidak mudah dikelola.


7. TEORI BELAJAR SIBERNETIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan teori-teori belajar lainnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik belajar adalah pemrosesan informasi. Teori ini lebih mementingkan sistem informasi dari pesan atau materi yang dipelajari. Bagaimana proses belajar akan berlangsung sangat ditentukan oleh sistem informasi dari pesan tersbeut. Oleh sebab itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu jenispun cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Teori ini lebih dikembangkan oleh para penganutnya, antara lain seperti pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Gage dan Berliner, Biehler dan Snowman, Bainie, serta Tennyson.
Bahwa proses pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (enconding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiti dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrievel). Ingatan terdiri dari struktur informasi yang terorganisasi dan proses penelusuran bergerak secara hirarkis, dan informasi yang paling umum dan inklusif ke informasi yang paling umum dan rinci, sampai informasi yang diinginkan diperoleh.
Konsepsi Landa dengan model pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristik mengatakan bahwa belajar algoritmik menuntut siswa untuk berpikir sistematis, tahap demi tahap, lisier, menuju pada target tujuan, sedangkan belajar heuristik menuntut siswa untuk berpikir devergen, menyebar ke beberapa target tujuan sekaligus.
Pask dan Scott membagi siswa menjadi tipe menyeluruh atau wholist, dan tipe serial atau serialist. Mereka mengatakan bahwa siswa yang bertipe wholist cenderung mempelajari sesuatu dari yang paling umum menuju ke hal-hal yang lebih khusus, sedangkan siswa dengan tipe serialist dalam berpikir akan menggunakan cara setahap demi setahap atau linier.
Aplikasi teori pengolahan informasi dalam pembelajaran antara lain dirumuskan dalam teori gagne dan Brigss yang mempreskripsikan adanya 1) kapabilitas belajar, 2) peristiwa pembelajaran, dan 3) pengorganisasian/urutan pembelajaran.



8. TEORI BELAJAR REVOLUSI-SOSIO-KULTURAL DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

Timbul keprihatianan terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini dengan maraknya berbagai problem sosial ancaman disentegrasi yang disebabkan oleh fanitisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanay tuntutan pluralisme. Perubahan struktur dan lunturnya nilai-nilai kekeluargaan, serta merebaknya kejahatan yang disebabkan oleh lemahnya social capital (model sosial) mendorng mereka yanng bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk mengkaji ulang paradigma pendidikan dan pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja pendidikan bukan satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi semua masalah tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar dalam upaya mengatasi berbagai persoalan sosial.
Aliran behavioristik yang banyak idigunakan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran selama ini kurang dapat menjawab masalah-masalah sosial. Pendekatan ini banyak dianut dalam praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran mulai dari pendidikan tingkat yang paling duni hingga pendidikan tinggi, namun ternyata tidak mampu menjawab masalah-masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan tidak mampu menumbuhkembangkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan dalam konteks sosial budaya yang beragam. Mereka kurang mampu berpikir kretaif, kritis dan produktif, tidak mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkolaborasi, serta pengelolaan diri.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
Pandangan yang dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygostsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu sendiri. Teori Vygostsky sebenarnya lebih tepat disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme.
Konsep-konsep penting dalam teorinya yaitu genetic low of development, zona of proximal development, dan mediasi, mampu membeuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual bersifat skunder.
Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain atau teman yang lebih kompeten. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif serta belajar konstektual sangat tepat digunakan. Sedangkan anak yang telah mampu belajar sendiri perlu ditinngkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu menuggu anak yang berada dibawahnya. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang tepat tentang karakteristik siswa dan budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran.


9. TOERI KECERDASAN GANDA DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

Pemikiran tentang pendidikan keterampilan sudah lama dikemukakan. Keterampilan bukan hanya sekedar keterampilan bekerja apalagi keterampilan untuk keterampilan itu sendiri. Keterampilan dalam maknanya yang luas diartikan sebagai keterampilan demi kehidupan dan penghidupan yang bermartabat dan sejahtera lahir dan batin. Keterampilan hidup inilah yang dalam praktek pendidikan perlu dimaknai dan diterjemahkan secara lebih rinci dan operasional agar dapat dilaksanakan dalam praktek pembelajaran di kelas.
Upaya melakukan intensifikasi dan eksensifikasi pendidikan keterampilan sangatlah diperlukan, karena banyaknya lulusan sekolah umum yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta daya serap ekonomi yang terbatas juga memerlukan tenaga-tenaga keterampilan dan bermutu. Keterampilan-keterampilan yang bersifat kejujuran, intelektual, sosial, dan managerial, serta keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan tuntutan pasar (skill market) yang bervariasi sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, perlu dilatihkan pada anak.
Kecerdasan ganda yang dikemukakan oleh Gardner yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh lain, terdiri dari kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan logika/matematika, kecerdasan visual/ruang, kecerdasan tubuh/gerak tubuh. Kecerdasan musikal/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan eksistensial, perlu dilatihkan dalam rangka mengembangakan keterampilan hidup. Semua kecerdasan ini sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Komposisi keterpaduannya berbeda-beda oada masing-masing orang dan pada masing-masing budaya, namun secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Keceerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah.
Pada pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan terhadap kecerdasan hanya terbatas pada aspek kognitif, sehingga manusia telah terekdusi menjadi sekedar komponen kognitif. Gardner melakukan hal yang berbeda, ia memandang manusia tidak hanya sekedar komponen kognitif, namun suatu kesleuruhan. Melalui teori kecerdasan ganda ia berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari sudut pandang kecerdasan (inteligensi). Tidak ada manusia yang sangat cerdas dan tidak cerdas untuk seluruh aspek yang ada pada dirinya. Yang ada adalah ada manusia yang memiliki kecerdasan tinggi pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya. Mungkin seseorang meiliki kecerdasan tinggi untuk kecerdasan logika-matematika tetapi tidak untuk kecerdasan musik atau kecerdasan body-kinestetik.
Strategi pembelajarn kecerdasan ganda bertujuan agar semua potensi anak dapat berkembang. Strategi dasar pembelajarannya dimulai dengan (1) membangun/memicu kecerdasan, (2) memperkuat kecerdasan, (3) mengajarkan dengan/untuk kecerdasan, dan (4) mentransfer kecerdasan. Sedangkan kegiatan-kegiatan dapat dilakukan dengan cara menyediakan hari-hari karir, studi tour, biografi, pembelajarn terprogram, eksperimen, majalah dinding, papan display, membaca buku-buku untuk mengembangkan kecerdasan ganda, membuat tabel perkembangan kecerdasan ganda, atau human intelligence hunt.
Upaya memberdayakan siswa sendiri berupa self-monitoring dan konseling atau tutor sebaya akan sangat efektif untuk mengembangkan kecerdasan ganda. Upaya-upaya diatas jika dilakukan akan menjadikan siswa mampu membuat penilaian dan keputusan sendiri secara tepat, mandiri tidak tergantung pada orang lain, bertanggung jawab, percaya diri, kreatiif, mampu berkolaborasi, dan dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kemampuan-kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh manusia-manusia yang hidup diera ekonomi informasi abad global.
Dari sudut pandang teori humanistik, dasar-dasar teori kecerdasan ganda memang sangat humanis. Psikologi humanistik selalu memberi tekanan pada positive regards, acceptance, awareness, self-worth yang kesemuanya itu bermuara pada aktualisasi diri yang optimal. psikoogi humanistik menekankan pada personal growth, sesuai dengan arah dari teori kecerdasan ganda. Persoalannya adalah bagaimana menciptakan kondisi kelas bagi tumbuh kembangnya kecerdasan ganda pada diri siswa, mmeningkatkan banyak orang mempersepsi bahwa kelas yang baik adalah kelas yanng diam, teratur, tertib, dan taat pada teratur, walaupun mungkin ramainya kelas tersebut disebabkan karena siswa berdebat, berdiskusi, bereksplorasi, atau kegiatan-kegiatan positif lainnya. Guru-guru yang ada pun seringkali lebih suka pada kelas yang tertib, teratur, siswa-siswanya teratur, siswa-siswanya patuh dan tidak kritis. Pendidikan dan pembelajaran yang mendasarkan pada kecerdasan ganda membuka kesempatan pada para siswanya untuk kritis dan mungkin tidak patuh karena siswa menemukan kebenaran-kebenaran yang dipegang oleh gurunya.









DAFTAR RUJUKAN

Asri Budiningsih. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta; Asdi Mahasatya

Baharuddin & Mulyono. 2008. Psikologi Agama. Malang; UIN-MALANG PRESS

Sumadi Suryabrata. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta; Raja Grafindo Persada

Sutiah. 2003. Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran. Malang; UIN MALANG

II.

A.Teori-teori belajar psikologi behavioristik
Psikologi aliran behavioristik mulai mengalami pengembangan dengan lahirnya teori-teori tentang belajar dipelopori oleh Thorndike, Pavlov, Watson, dan Gunthrie. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikakan oleh ganjaran (rewards) atau penguatan (reinforcment)dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang sangat erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasintya.
Para guru sekolah yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa semua tingkah laku adalah hasil belajar. Kita dapat menganalisa kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcmet) pada tingkah laku tersebut.
1.Connectism Theory
Teori belajar ini dikemukakan oleh Edward Thorndrik (1874-1949) yang kemudian berpengaruh pada pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat. Thorndike berpendapat bahwa belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering pula disebut “Trial and Error learning”, individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “Trial and Error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu. Ada beberapa hukum-hukum dalam teori “Trial and Error” menurut Thorndike dalam hasil penelitiannya, yaitu:
a.Law of Readiness
Hukum ini berpendapat bahwa reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
b.Law of Exercise
Hukum ini berpendapat bahwa makin banyak dipraktekan atau digunakannya hubungan stimulus atau respon, maka makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai “reward”
c.Law of Effect
Hukum ini berpendapat, bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon, dan dibarengi oleh “State of Affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu akan menjadi lebih kuat. Bilamana hubungan dibarengi “State of Affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi kurang.
Ada beberapa ciri-ciri belajar dengan menggunakan “Trial and Error”, yaitu: (a) ada motif pendorong aktifitas; (b) Ada berbagai respon terhadap situasi; (c) ada eliminasi respon-respon yag gagal atau salah ; dan (d) ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.

2.Conditioning Theory
Teori ini dikemukakan dan dikembangkan pertama kali oleh John B. Watson di AS (1878-1958). Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respon-respon bersyarat melalui stimulus penganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus dan respon yang baru melalui “conditioning”.
Salah satu percobaan yang terkenal adalah percobaan terhadap anak umur 11 tahun “Albert” dengan seekor tikus putih. Percobaan itu memiliki kesimpulan I bahwa rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses ekstinksi, dengan mengulang stimulus bersyarat tanpa dibarengi stimulus tak bersyarat.

B.Teori-teori belajar Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar “Gestalt”. Peletak dasar teori ini adalah Max Wertheimer (1880-1943) di Austria yang meneliti tentang pengaamatan dan problem solving. Sumbangan ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang “insight’ pada simpanse.
Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam satu keseluuhan. Orang yang belajar, mengamati stimulus dalam keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh “Insight” untuk pemecahan masalah. Suatu konsep yang penting dalam psikologi gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam situasi pemasalahan. Insight juga sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “Aha!” atau “Oh, I see now”
1.Teori belajar “Cognitif-field”
Teori ini dikembangkan oleh Kurt Lewin (1892-1947) dengan menaruh perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang bahwa masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut sebagai”Life Space”. Life Space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang iya umpai, objek material yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil tindakan antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti; tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar diri individu, seperti; tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif yang dihasilkan dari dua macam kekuatan, satu dari strukrtur medan kognisi itu sendiri dan dari kebutuhan dan motivasi internal individu.
2.Teori belajar discovery learning
Teori ini dikemukakan oleh Jerome Bruner (1993) yang ditulisnya dalam sebuah buku yang berjudul “Process of Education”. Teori ini mempunyai dasar ide bahwa anak harus berperan secara aktif dalam belajar di kelas, dimana anak atau murid harus mampu mengorganisir bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan “reception learning” atau “expository teaching”, dimana guru menerangkan semua bahan atau informasi itu. Di dalam buku itu Bruner melaporkan suatu hasil dari konferensi diantara para ahli Science (ilmu pengetahuan alam. Dalam hal ini ia mengemukakan pendapat bahwa mata pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat kea rah yang abstrak.
Salah satu cara program pengajaran yang efektif menurut Bruner, ialah dengan mengkoordinasikan mode penyajian bahan dengan cara dimana anak itu dapat mempelajari bahan itu, yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dimulai dari tingkat representasi sensory (enactive) ke representasi concrit (iconic) dan akhirnya ke tingkat representasi yang abstrak (simbolik). Demikian juga dalam penyusunan kurikulum dari satu mata pelajaran, harus ditentukan oleh pengertian yang sangat fundamental bahwa hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip yang memberikan struktur bagi mata pelajaran itu. Maka dalam mengajar, murid harus mempelajari prinsip-prinsip itu sehingga terbentuklah suatu disiplin dalam diri mereka. Sebalaiknya, seorang guru juga harus mampu memberian kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solving, seorang scientis, historin ataupun ahli matematika. Biarlah murid-murid tersebut mencari dan menemukan arti bagi diri mereka sendiri sehingga pada akhirnya memungkinkan mereka utuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mudah di mengerti oleh mereka.

C.Perbedaan Antara teori belajar Behaviouristik dengan teori belajar Kognitif (Gestalt)
Dari beberapa penjelasan teori belajar di atas, baik dari aliran behaviouristik maupun dari aliran kognitif (gestalt), dapat kita tarik suatu perbedaan yang mendasar, yaitu dimana para ahli psikologi behaviouristik lebih menitikberatkan proses hubungan “Stimulus-respon-reinforcment” sebagai bagian terpenting dalam belajar. Pendapat tersebut di tentang oleh para ahli psikologi kognitif, menurut mereka tingkah laku atau belajar seseorang senantiasa didasari pada kondisi kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingah laku itu terjadi. Jadi mereka berpandangan bahwa tingkah lakuseseorang bergantung pada “Insight” daripada “Trial and error” terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi. Orang yang belajar, menurut ahli kognitf lebih mengamati stimuli dalam keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian-bagian yag terpisah.

III

Instructional Design
&
Learning Theory
Brenda Mergel
Graduate Student
Educational Communications and Technology
University of Saskatchewan
May, 1998

Introduction:

To students of instructional design the introduction and subsequent "sorting out" of the various learning theories and associated instructional design strategies can be somewhat confusing. It was out of this feeling of cognitive dissonance that this site was born.

Why does it seem so difficult to differentiate between three basic theories of learning? Why do the names of theorists appear connected to more than one theory? Why do the terms and strategies of each theory overlap?

The need for answers to these questions sparked my investigation into the available literature on learning theories and their implications for instructional design. I found many articles and internet sites that dealt with learning theory and ID, in fact, it was difficult to know when and where to draw the line. When I stopped finding new information, and the articles were reaffirming what I had already read, I began to write.

The writing process was a learning experience for me and now that I have finished, I want to start over and make it even better, because I know more now than I did when I began. Every time I reread an article, there were ideas and lists that I would wish to add to my writing. Perhaps in further development of this site I will change and refine my presentation.

Reading about the development of learning theories and their connection to instructional design evoked, for me, many parallels with the development of other theories in sciences. I have included some of those thoughts as asides within the main body of text.

Besides behaviorism, cognitivism and constructivism one could discuss such topics as connoisseurship, semiotics, and contextualism, but I decided that a clear understanding of the basic learning theories would be best. The main sections of this site are as follows:

* What are Theories and Models?
* The Basics of the Learning Theories
o The Basics of Behaviorism
o The Basics of Cognitivism
o The Basics of Constructivism
* The History of Learning Theories in Instructional Design
o Behaviorism and Instructional Design
o Cognitivism and Instructional Design
o Constructivism and Instructional Design
* Comparing The Development of Learning Theories to the Development of the Atomic Theory
* Learning Theories and the Practice of Instructional Design
* Learning Theories - Some Strengths and Weaknesses
* Is There One Best Learning Theory for Instructional Design?
* Conclusion
* References and Bibliography



What are Theories and Models?

* What is a theory?
o A theory provides a general explanation for observations made over time.
o A theory explains and predicts behavior.
o A theory can never be established beyond all doubt.
o A theory may be modified.
o Theories seldom have to be thrown out completely if thoroughly tested but sometimes a theory may be widely accepted for a long time and later disproved.

(Dorin, Demmin & Gabel, 1990)
* What is a model?
o A model is a mental picture that helps us understand something we cannot see or experience directly.

(Dorin, Demmin & Gabel, 1990)



Behaviorism, Cognitivism and Constructivism - The Basics

Behaviorism: Based on observable changes in behavior. Behaviorism focuses on a new behavioral pattern being repeated until it becomes automatic.

Cognitivism: Based on the thought process behind the behavior. Changes in behavior are observed, and used as indicators as to what is happening inside the learner's mind.

Constructivism: Based on the premise that we all construct our own perspective of the world, through individual experiences and schema. Constructivism focuses on preparing the learner to problem solve in ambiguous situations.

(Schuman, 1996)

The Basics of Behaviorism

Behaviorism, as a learning theory, can be traced back to Aristotle, whose essay "Memory" focused on associations being made between events such as lightning and thunder. Other philosophers that followed Aristotle's thoughts are Hobbs (1650), Hume (1740), Brown (1820), Bain (1855) and Ebbinghause (1885) (Black, 1995).

The theory of behaviorism concentrates on the study of overt behaviors that can be observed and measured (Good & Brophy, 1990). It views the mind as a "black box" in the sense that response to stimulus can be observed quantitatively, totally ignoring the possibility of thought processes occurring in the mind. Some key players in the development of the behaviorist theory were Pavlov, Watson, Thorndike and Skinner.



Pavlov (1849 - 1936)

For most people, the name "Pavlov" rings a bell (pun intended). The Russian physiologist is best known for his work in classical conditioning or stimulus substitution. Pavlov's most famous experiment involved food, a dog and a bell.
Pavlov's Experiment

* Before conditioning, ringing the bell caused no response from the dog. Placing food in front of the dog initiated salivation.
* During conditioning, the bell was rung a few seconds before the dog was presented with food.
* After conditioning, the ringing of the bell alone produced salivation

(Dembo, 1994).


Stimulus and Response Items of Pavlov's Experiment

Food


Unconditioned Stimulus

Salivation


Unconditioned Response (natural, not learned)

Bell


Conditioned Stimulus

Salivation


Conditioned Response (to bell)



Other Observations Made by Pavlov

* Stimulus Generalization: Once the dog has learned to salivate at the sound of the bell, it will salivate at other similar sounds.
* Extinction: If you stop pairing the bell with the food, salivation will eventually cease in response to the bell.
* Spontaneous Recovery: Extinguished responses can be "recovered" after an elapsed time, but will soon extinguish again if the dog is not presented with food.
* Discrimination: The dog could learn to discriminate between similar bells (stimuli) and discern which bell would result in the presentation of food and which would not.
* Higher-Order Conditioning: Once the dog has been conditioned to associate the bell with food, another unconditioned stimulus, such as a light may be flashed at the same time that the bell is rung. Eventually the dog will salivate at the flash of the light without the sound of the bell.

(What was the name of that dog??)



Thorndike (1874 - 1949)

Edward Thorndike did research in animal behavior before becoming interested in human psychology. He set out to apply "the methods of exact science" to educational problems by emphasizing "accurate quantitative treatment of information". "Anything that exists, exists in a certain quantity and can be measured" (Johcich, as cited in Rizo, 1991). His theory, Connectionism, stated that learning was the formation of a connection between stimulus and response.

* The "law of effect" stated that when a connection between a stimulus and response is positively rewarded it will be strengthened and when it is negatively rewarded it will be weakened. Thorndike later revised this "law" when he found that negative reward, (punishment) did not necessarily weaken bonds, and that some seemingly pleasurable consequences do not necessarily motivate performance.
* The "law of exercise" held that the more an S-R (stimulus response) bond is practiced the stronger it will become. As with the law of effect, the law of exercise also had to be updated when Thorndike found that practice without feedback does not necessarily enhance performance.
* The "law of readiness" : because of the structure of the nervous system, certain conduction units, in a given situation, are more predisposed to conduct than others.

Thorndike's laws were based on the stimulus-response hypothesis. He believed that a neural bond would be established between the stimulus and response when the response was positive. Learning takes place when the bonds are formed into patterns of behavior (Saettler, 1990).



Watson (1878 - 1958)

John B. Watson was the first American psychologist to use Pavlov's ideas. Like Thorndike, he was originally involved in animal research, but later became involved in the study of human behavior.

Watson believed that humans are born with a few reflexes and the emotional reactions of love and rage. All other behavior is established through stimulus-response associations through conditioning.
Watson's Experiment

Watson demonstrated classical conditioning in an experiment involving a young child (Albert) and a white rat. Originally, Albert was unafraid of the rat; but Watson created a sudden loud noise whenever Albert touched the rat. Because Albert was frightened by the loud noise, he soon became conditioned to fear and avoid the rat. The fear was generalized to other small animals. Watson then "extinguished" the fear by presenting the rat without the loud noise. Some accounts of the study suggest that the conditioned fear was more powerful and permanent than it really was. (Harris, 1979; Samelson, 1980, in Brophy, 1990)

Certainly Watson's research methods would be questioned today; however, his work did demonstrate the role of conditioning in the development of emotional responses to certain stimuli. This may explain certain fears, phobias and prejudices that people develop.
(Watson is credited with coining the term "behaviorism")



Skinner (1904 - 1990)

Like Pavlov, Watson and Thorndike, Skinner believed in the stimulus-response pattern of conditioned behavior. His theory dealt with changes in observable behavior, ignoring the possibility of any processes occurring in the mind. Skinner's 1948 book, Walden Two , is about a utopian society based on operant conditioning. He also wrote,Science and Human Behavior, (1953) in which he pointed out how the principles of operant conditioning function in social institutions such as government, law, religion, economics and education (Dembo, 1994).

Skinner's work differs from that of his predecessors (classical conditioning), in that he studied operant behavior (voluntary behaviors used in operating on the environment).


Difference between Classical and Operant Conditioning

Skinner's Operant Conditioning Mechanisms

* Positive Reinforcement or reward: Responses that are rewarded are likely to be repeated. (Good grades reinforce careful study.)
* Negative Reinforcement: Responses that allow escape from painful or undesirable situations are likely to be repeated. (Being excused from writing a final because of good term work.)
* Extinction or Non-Reinforcement : Responses that are not reinforced are not likely to be repeated. (Ignoring student misbehavior should extinguish that behavior.)
* Punishment: Responses that bring painful or undesirable consequences will be suppressed, but may reappear if reinforcement contingencies change. (Penalizing late students by withdrawing privileges should stop their lateness.)

(Good & Brophy, 1990)

Skinner and Behavioral Shaping

If placed in a cage an animal may take a very long time to figure out that pressing a lever will produce food. To accomplish such behavior successive approximations of the behavior are rewarded until the animal learns the association between the lever and the food reward. To begin shaping, the animal may be rewarded for simply turning in the direction of the lever, then for moving toward the lever, for brushing against the lever, and finally for pawing the lever.

Behavioral chaining occurs when a succession of steps need to be learned. The animal would master each step in sequence until the entire sequence is learned.

Reinforcement Schedules

Once the desired behavioral response is accomplished, reinforcement does not have to be 100%; in fact it can be maintained more successfully through what Skinner referred to as partial reinforcement schedules. Partial reinforcement schedules include interval schedules and ratio schedules.

* Fixed Interval Schedules: the target response is reinforced after a fixed amount of time has passed since the last reinforcement.
* Variable Interval Schedules: similar to fixed interval schedules, but the amount of time that must pass between reinforcement varies.
* Fixed Ratio Schedules: a fixed number of correct responses must occur before reinforcement may
recur.
* Variable Ratio Schedules: the number of correct repetitions of the correct response for reinforcement varies.

Variable interval and especially, variable ratio schedules produce steadier and more persistent rates of response because the learners cannot predict when the reinforcement will come although they know that they will eventually succeed.
(Have you checked your Lottery tickets lately?)



The Basics of Cognitivism

As early as the 1920's people began to find limitations in the behaviorist approach to understanding learning. Edward Tolman found that rats used in an experiment appeared to have a mental map of the maze he was using. When he closed off a certain portion of the maze, the rats did not bother to try a certain path because they "knew" that it led to the blocked path. Visually, the rats could not see that the path would result in failure, yet they chose to take a longer route that they knew would be successful (Operant Conditioning [On-line]).

Behaviorists were unable to explain certain social behaviors. For example, children do not imitate all behavior that has been reinforced. Furthermore, they may model new behavior days or weeks after their first initial observation without having been reinforced for the behavior. Because of these observations, Bandura and Walters departed from the traditional operant conditioning explanation that the child must perform and receive reinforcement before being able to learn. They stated in their 1963 book, Social Learning and Personality Development, that an individual could model behavior by observing the behavior of another person. This theory lead to Bandura's Social Cognitive Theory (Dembo, 1994).

What is Cognitivism?

"Cognitive theorists recognize that much learning involves associations established through contiguity and repetition. They also acknowledge the importance of reinforcement, although they stress its role in providing feedback about the correctness of responses over its role as a motivator. However, even while accepting such behavioristic concepts, cognitive theorists view learning as involving the acquisition or reorganization of the cognitive structures through which humans process and store information." (Good and Brophy, 1990, pp. 187).

As with behaviorism, cognitive psychology can be traced back to the ancient Greeks, Plato and Aristotle. The cognitive revolution became evident in American psychology during the 1950's (Saettler, 1990). One of the major players in the development of cognitivism is Jean Piaget, who developed the major aspects of his theory as early as the 1920's. Piaget's ideas did not impact North America until the 1960's after Miller and Bruner founded the Harvard Center for Cognitive studies.

Key Concepts of Cognitive Theory

* Schema - An internal knowledge structure. New information is compared to existing cognitive structures called "schema". Schema may be combined, extended or altered to accommodate new information.
* Three-Stage Information Processing Model - input first enters a sensory register, then is processed in short-term memory, and then is transferred to long-term memory for storage and retrieval.
o Sensory Register - receives input from senses which lasts from less than a second to four seconds and then disappears through decay or replacement. Much of the information never reaches short term memory but all information is monitored at some level and acted upon if necessary.
o Short-Term Memory (STM) - sensory input that is important or interesting is transferred from the sensory register to the STM. Memory can be retained here for up to 20 seconds or more if rehearsed repeatedly. Short-term memory can hold up to 7 plus or minus 2 items. STM capacity can be increased if material is chunked into meaningful parts.
o Long-Term Memory and Storage (LTM) - stores information from STM for long term use. Long-term memory has unlimited capacity. Some materials are "forced" into LTM by rote memorization and over learning. Deeper levels of processing such as generating linkages between old and new information are much better for successful retention of material.
* Meaningful Effects - Meaningful information is easier to learn and remember. (Cofer, 1971, in Good and Brophy, 1990) If a learner links relatively meaningless information with prior schema it will be easier to retain. (Wittrock, Marks, & Doctorow, 1975, in Good and Brophy, 1990)
* Serial Position Effects - It is easier to remember items from the beginning or end of a list rather than those in the middle of the list, unless that item is distinctly different.
* Practice Effects - Practicing or rehearsing improves retention especially when it is distributed practice. By distributing practices the learner associates the material with many different contexts rather than the one context afforded by mass practice.
* Transfer Effects- The effects of prior learning on learning new tasks or material.
* Interference Effects - Occurs when prior learning interferes with the learning of new material.
* Organization Effects - When a learner categorizes input such as a grocery list, it is easier to remember.
* Levels of Processing Effects - Words may be processed at a low-level sensory analysis of their physical characteristics to high-level semantic analysis of their meaning. (Craik and Lockhart, 1972, in Good and Brophy, 1990) The more deeply a word is process the easier it will be to remember.
* State Dependent Effects - If learning takes place within a certain context it will be easier to remember within that context rather than in a new context.
* Mnemonic Effects - Mnemonics are strategies used by learners to organize relatively meaningless input into more meaningful images or semantic contexts. For example, the notes of a musical scale can be remembered by the rhyme: Every Good Boy Deserves Fruit.
* Schema Effects - If information does not fit a person's schema it may be more difficult for them to remember and what they remember or how they conceive of it may also be affected by their prior schema.
* Advance Organizers - Ausebels advance organizers prepare the learner for the material they are about to learn. They are not simply outlines of the material, but are material that will enable the student to make sense out of the lesson.



The Basics of Constructivism

Bartlett (1932) pioneered what became the constructivist approach (Good & Brophy, 1990). Constructivists believe that "learners construct their own reality or at least interpret it based upon their perceptions of experiences, so an individual's knowledge is a function of one's prior experiences, mental structures, and beliefs that are used to interpret objects and events." "What someone knows is grounded in perception of the physical and social experiences which are comprehended by the mind." (Jonasson, 1991).

If each person has their own view about reality, then how can we as a society communicate and/or coexist? Jonassen, addressing this issue in his article Thinking Technology: Toward a Constructivist Design Model, makes the following comments:

* "Perhaps the most common misconception of constructivism is the inference that we each therefore construct a unique reality, that reality is only in the mind of the knower, which will doubtlessly lead to intellectual anarchy."
* "A reasonable response to that criticism is the Gibsonian perspective that contends that there exists a physical world that is subject to physical laws that we all know in pretty much the same way because those physical laws are perceivable by humans in pretty much the same way."
* "Constructivists also believe that much of reality is shared through a process of social negotiation..."

If one searches through the many philosophical and psychological theories of the past, the threads of constructivism may be found in the writing of such people as Bruner, Ulrick, Neiser, Goodman, Kant, Kuhn, Dewey and Habermas. The most profound influence was Jean Piaget's work which was interpreted and extended by von Glasserfield (Smorgansbord, 1997).

Realistic vs. Radical Construction

Realistic constructivism - cognition is the process by which learners eventually construct mental structures that correspond to or match external structures located in the environment.

Radical constructivism - cognition serves to organize the learners experiential world rather than to discover ontological reality

(Cobb, 1996, in Smorgansbord, 1997).

The Assumptions of Constructivism - Merrill

* knowledge is constructed from experience
* learning is a personal interpretation of the world
* learning is an active process in which meaning is developed on the basis of experience
* conceptual growth comes from the negotiation of meaning, the sharing of multiple perspectives and the changing of our internal representations through collaborative learning
* learning should be situated in realistic settings; testing should be integrated with the task and not a separate activity

(Merrill, 1991, in Smorgansbord, 1997)





It Boggles the Mind!

If you are reading about learning theories, you may notice that it is difficult to pin down what theory a certain theorist belongs to. This can confuse you, since, just as you think you have it cased, a name you originally thought was in the behavioral category shows up in a constructivism article.

This problem is often the result of theorists and their ideas evolving over time and changes they make to their original ideas. Davidson includes the following example in an article she wrote:

"Considered by most to be representative of [a] behaviourist learning paradigm, Gagne's theory of learning and events of instruction have evolved progressively to approach a more cognitive theory. His discussion of relating present information and past knowledge (event #3) and the inclusion of learning transfer (event#9) are indicative of this shift toward constructivism." (Davidson, 1998)

Okay? Okay. :-)

Comparing The Development of Learning Theories to the Development of the Atomic Theory

Atomic Theory

Since the beginning of history, people have theorized about the nature of matter. The ancient Greeks thought that matter was composed of fire, water, earth and air. Another view, the continuous theory, was that matter could be infinitely subdivided into smaller and smaller pieces without change. The Greek philosophers, Democritis and Lucippus, came up with the idea that matter made up of particles so small that they cannot be divided into anything smaller. They called their particles "atomos", which is the Greek word for "indivisible". It wasn't until the 18th century that anyone could prove one theory was better than another. John Dalton in 1803, with his law of multiple proportions, proposed a theory of matter based on the existence of atoms. The rest is history:

* 1803 Dalton's Atomic Theory.
* 1870 Crookes finds the first evidence of electrons.
* 1890's J.J. Thompson realized cathode rays are negative particles (electrons).
* 1909 Rutherford discovered alpha particles and said that atoms consist of small positively charged particles surrounded by mostly empty space where electrons moved around.
* 1913 Niels Bohr develops a new model of the atom with electron energy levels or orbits.
* 1930's and 1940's The atom had a positive nucleus with an electron charge cloud. This theory was referred to as the orbital model and the quantum-mechanical model.

(Dorin, Demmin & Gabel, 1990)





Learning Theory

Given that we will most likely never "see" an atom, we will never "see" learning either. Therefore our learning models are mental pictures that enable us to understand that which we will never see. Does the development of learning theory follow a similar pattern as the atomic theory?

It seems that learning theories, like the study of matter can be traced back to the ancient Greeks. In the 18th century, with the onset of scientific inquiry, people began in ernest to study and develop models of learning. The behaviorist learning theory centered around that which was observable, not considering that there was anything occurring inside the mind. Behaviorism can be compared to Dalton's atom, which was simply a particle. Using overt behavior as a starting point, people began to realize that there is something happening inside the organism that should be considered, since it seemed to affect the overt behavior. Similarly, in physical science, people such as Crookes, Thompson, Rutherford and Bohr realized that there was something occurring within the atom causing its behavior. Thus the cognitive model of learning was born. Soon, however, theorists realized that the "atom" is not stable, it is not so "cut and dried". Enter the constructivist learning theory which tells us that each organism is constantly in flux, and although the old models work to a certain degree, other factors most also be considered. Could the constructivist approach be considered to be the quantum theory of learning?

The quantum theory builds upon the previous atomic theories. Constructivism builds upon behaviorism and cognitivism in the sense that it accepts multiple perspectives and maintains that learning is a personal interpretation of the world. I believe that behavioral strategies can be part of a constructivist learning situation, if that learner choses and finds that type of learning suitable to their experiences and learning style. Cognitive approaches have a place in constructivism also, since constructivism recognises the concept of schema and building upon prior knowledge and experience. Perhaps the greatest difference is that of evaluation. In behaviorism and cognitivism, evaluation is based on meeting specific objectives, whereas in constructivism, evaluation is much more subjective. Of course, what if I, as a learner, negotiate my evaluation and wish to include objective evaluation? Then isn't behavioral and cognitive strategy a part of constructivism?

Perhaps the learning theory used depends upon the learning situation, just as the atomic theory used, depends upon the learning situation. The bohr atom is often used to introduce the concept of protons, neutrons and electrons to grade school students. Perhaps behaviorism is suitable to certain basic learning situations, whereas "quantum" constructivism is better suited to advanced learning situations.





A Biological Analogy to Learning Theory Classification

The classification of learning theories is somewhat analogous to the classification system designed by biologists to sort out living organisms. Like any attempt to define categories, to establish criteria, the world does not fit the scheme in all cases. Originally there was a plant kingdom and an animal kingdom, but eventually organisms that contained cholophyll and were mobile needed to be classified. The protist kingdom was established. The exact criteria for protists are still not established, but it is a classification that gives us a place for all of the organisms that don't fit neatly into either the plant or animal kingdoms.

To extend the analogy, biologists continued to modify the classification system as know knowledge and insights into existing knowledge were discovered. The advent of new technology such as the electron microscope enabled the addition of the monera kingdom. Recently, the distinctive features of fungi have brought about a proposal for a fifth kingdom, fungi. This development and adjustment of the taxonomy remins one of behaviourism, cognitivism, constructivism, postmodernism, contextualism, semiotics...





The History of Behaviorism, Cognitivism and Constructivism in Instructional Design

Behaviorism and Instructional Design

** This section on behaviorism is largely a synopsis of information from Paul Saettler's book, The History of American Educational Technology, (1990).

In Paul Saettler's book The History of American Educational Technology, he states that behaviorism did not have an impact on educational technology until the 1960s, which was the time that behaviorism actually began to decrease in popularity in American psychology. Saettler identified six areas that demonstrate the impact of behaviorism on Educational Technology in America: the behavioral objectives movement; the teaching machine phase; the programmed instruction movement; individualized instructional approaches, computer-assisted learning and the systems approach to instruction.

Behavioral Objectives Movement:

A behavioral objective states learning objectives in "specified, quantifiable, terminal behaviors" (Saettler, pp. 288, 1990). Behavioral objectives can be summed up using the mnemonic device ABCD (Schwier, 1998).

Example: After having completed the unit the student will be able to answer correctly 90% of the questions on the posttest.

* A - Audience - the student
* B - Behavior - answer correctly
* C - Condition - after having completed the unit, on a post test
* D - Degree - 90% correct

To develop behavioral objectives a learning task must be broken down through analysis into specific measurable tasks. The learning success may be measured by tests developed to measure each objective.

The advent of behavioral objectives can be traced back to the Elder Sophists of ancient Greece, Cicero, Herbart and Spencer, but Franklin Bobbitt developed the modern concept of behavioral objectives in the early 1900s (Saettler, 1990).

Taxonomic Analysis of Learning Behaviors

* Bloom's Taxonomy of Learning - In 1956 Bloom and his colleagues began development of a taxonomy in the cognitive, attitudinal (affective) and psychomotor domains. Many people are familiar with Bloom's Cognitive taxonomy:
o knowledge
o comprehension
o application
o analysis
o synthesis
o evaluation


* Gagne's Taxonomy of Learning - Robert Gagne developed his taxonomy of learning in 1972. Gagne's taxonomy was comprised of five categories:
o verbal information
o intellectual skill
o cognitive strategy
o attitude
o motor skill

Mastery Learning

Mastery learning was originally developed by Morrison in the 1930s. His formula for mastery was "Pretest, teach, test the result, adapt procedure, teach and test again to the point of actual learning." (Morrison, 1931, in Saettler, 1990). Mastery learning assumes that all students can master the materials presented in the lesson. Bloom further developed Morrison's plan, but mastery learning is more effective for the lower levels of learning on Bloom's taxonomy, and not appropriate for higher level learning (Saettler, 1990).

Military and Industrial Approach

For military and industrial training, "behavioral objectives were written descriptions of specific, terminal behaviors that were manifested in terms of observable, measurable behavior." (Saettler, 1990) Robert Mager wrote Preparing Instructional Objectives, in 1962 which prompted interest and use of behavioral objectives among educators. Gagne and Briggs who also had backgrounds in military and industrial psychology developed a set of instructions for writing objectives that is based on Mager's work.

* Gagne's and Brigg's Model
o Action
o Object
o Situation
o Tools and Constraints
o Capability to be Learned

By the late 1960's most teachers were writing and using behavioral objectives. There were, of course, people who questioned the breaking down of subject material into small parts, believing that it would lead away from an understanding of the "whole" (Saettler, 1990).

Accountability Movement

A movement known as scientific management of industry arose in the early 1900s in response to political and economic factors of that time. Franklin Bobbitt proposed utilization of this system in education stressing that the standards and direction of education should stem from the consumer - society. Bobbitt's ideas exemplified the idea of accountability, competency-based education and performance-based education, which because of similar economic and political factors, experienced a revival in America during the late 1960s and 1970s (Saettler, 1990).

Teaching Machines and Programmed Instruction Movement

Although the elder Sophists, Comenius, Herbart and Montessori used the concept of programmed instruction in their repertoire, B.F. Skinner is the most current and probably best known advocate of teaching machines and programmed learning. Contributors to this movement include the following:

* Pressey - introduced a multiple-choice machine at the 1925 American Psychological Association meeting.
* Peterson - a former student of Pressey's who developed "chemosheets" in which the learner checked their answers with a chemical-dipped swab.
* W.W.II - devises called "phase checks", constructed in the 1940s and 1950s, taught and tested such skills and dissassembly-assembly of equipment.
* Crowder - designed a branched style of programming for the US Air force in the 1950s to train troubleshooters to find malfunctions in electronic equipment.
* Skinner - based on operant conditioning Skinner's teaching machine required the learner to complete or answer a question and then receive feedback on the correctness of the response. Skinner demonstrated his machine in 1954.

(Saettler, 1990)

Early Use of Programmed Instruction

After experimental use of programmed instruction in the 1920s and 1930s, B. F. Skinner and J.G. Holland first used programmed instruction in behavioral psychology courses at Harvard in the late 1950s. Use of programmed instruction appeared in elementary and secondary schools around the same time. Much of the programmed instruction in American schools was used with individuals or small groups of students and was more often used in junior high schools than senior or elementary schools (Saettler, 1990).

Early use of programmed instruction tended to concentrate on the development of hardware rather than course content. Concerned developers moved away from hardware development to programs based on analysis of learning and instruction based on learning theory. Despite these changes, programmed learning died out in the later part of the 1960s because it did not appear to live up to its original claims (Saettler, 1990).

Individualized Approaches to Instruction

Similar to programmed learning and teaching machines individualized instruction began in the early 1900s, and was revived in the 1960s. The Keller Plan, Individually Prescribed Instruction, Program for Learning in Accordance with Needs, and Individually Guided Education are all examples of individualized instruction in the U.S. (Saettler, 1990).

Keller Plan (1963)

* Developed by F.S. Keller, a colleague of Skinner, the Keller plan was used for university college classes.
* Main features of Keller Plan
o individually paced.
o mastery learning.
o lectures and demonstrations motivational rather than critical information.
o use of proctors which permitted testing, immediate scoring, tutoring, personal-social aspect of educational process.

(Saettler, 1990)

Individually Prescribed Instruction (IPI) (1964)

* Developed by Learning Research and Development Center of the University of Pitsburgh.
* Lasted into the 1970s when it lost funding and its use dwindled
* Main features of IPI:
o prepared units.
o behavioral objectives.
o planned instructional sequences.
o used for reading, math and science.
o included pretest and posttest for each unit.
o materials continually evaluated and upgraded to meet behavioral objectives.

(Saettler, 1990)

Program for Learning in Accordance with Needs (PLAN) (1967)

* Headed by Jon C. Flanagan, PLAN was developed under sponsorship of American Institutes for Research (AIR), Westinghouse Learning Corporation and fourteen U.S. School districts.
* Abandoned in late 1970s because of upgrading costs
* Main features of PLAN
o schools selected items from about 6,000 behavioral objectives.
o each instructional module took about two weeks instruction and were made up of approximately. five objectives.
o mastery learning.
o remedial learning plus retesting.

(Saettler, 1990)

Computer-Assisted Instruction (CAI)

Computer-assisted instruction was first used in education and training during the 1950s. Early work was done by IBM and such people as Gordon Pask, and O.M. Moore, but CAI grew rapidly in the 1960s when federal funding for research and development in education and industrial laboratories was implemented. The U.S. government wanted to determine the possible effectiveness of computer-assisted instruction, so they developed two competing companies, (Control Data Corporation and Mitre Corporation) who came up with the PLATO and TICCIT projects. Despite money and research, by the mid seventies it was apparent that CAI was not going to be the success that people had believed. Some of the reasons are:

* CAI had been oversold and could not deliver.
* lack of support from certain sectors.
* technical problems in implementation.
* lack of quality software.
* high cost.

Computer-assisted instruction was very much drill-and-practice - controlled by the program developer rather than the learner. Little branching of instruction was implemented although TICCIT did allow the learner to determine the sequence of instruction or to skip certain topics.

(Saettler, 1990)

Systems Approach to Instruction

The systems approach developed out of the 1950s and 1960s focus on language laboratories, teaching machines, programmed instruction, multimedia presentations and the use of the computer in instruction. Most systems approaches are similar to computer flow charts with steps that the designer moves through during the development of instruction. Rooted in the military and business world, the systems approach involved setting goals and objectives, analyzing resources, devising a plan of action and continuous evaluation/modification of the program. (Saettler, 1990)



Cognitivism and Instructional Design

Although cognitive psychology emerged in the late 1950s and began to take over as the dominant theory of learning, it wasn't until the late 1970s that cognitive science began to have its influence on instructional design. Cognitive science began a shift from behavioristic practices which emphasised external behavior, to a concern with the internal mental processes of the mind and how they could be utilized in promoting effective learning. The design models that had been developed in the behaviorist tradition were not simply tossed out, but instead the "task analysis" and "learner analysis" parts of the models were embellished. The new models addressed component processes of learning such as knowledge coding and representation, information storage and retrieval as well as the incorporation and integration of new knowledge with previous information (Saettler, 1990). Because Cognitivism and Behaviorism are both governed by an objective view of the nature of knowledge and what it means to know something, the transition from behavioral instructional design principles to those of a cognitive style was not entirely difficult. The goal of instruction remained the communication or transfer of knowledge to learners in the most efficient, effective manner possible (Bednar et al., in Anglin, 1995). For example, the breaking down of a task into small steps works for a behaviorist who is trying to find the most efficient and fail proof method of shaping a learner's behavior. The cognitive scientist would analyze a task, break it down into smaller steps or chunks and use that information to develop instruction that moves from simple to complex building on prior schema.

The influence of cognitive science in instructional design is evidenced by the use of advance organizers, mnemonic devices, metaphors, chunking into meaningful parts and the careful organization of instructional materials from simple to complex.

Cognitivism and Computer-Based Instruction

Computers process information in a similar fashion to how cognitive scientists believe humans process information: receive, store and retrieve. This analogy makes the possibility of programming a computer to "think" like a person conceivable, i.e.. artificial intelligence.

Artificial intelligence involve the computer working to supply appropriate responses to student input from the computer's data base. A trouble-shooting programs is one example of these programs. Below is a list of some programs and their intended use:

* SCHOLAR - teaches facts about South American geography in a Socratic method
* PUFF - diagnoses medical patients for possible pulmonary disorders
* MYCIN - diagnoses blood infections and prescribes possible treatment
* DENDRAL - enables a chemist to make an accurate guess about the molecular structure of an unknown compound
* META-DENDRAL - makes up its own molecular fragmentation rules in an attempt to explain sets of basic data
* GUIDION - a derivative of the MYCIN program that gave a student information about a case and compared their diagnosis with what MYCIN would suggest
* SOPIE - helps engineers troubleshoot electronic equipment problems
* BUGGY - allows teachers to diagnose causes for student mathematical errors
* LOGO - designed to help children learn to program a computer
* Davis' math programs for the PLATO system - to encourage mathematical development through discovery

(Saettler, 1990)



Constructivism and Instructional Design

The shift of instructional design from behaviorism to cognitivism was not as dramatic as the move into constructivism appears to be, since behaviorism and cognitivism are both objective in nature. Behaviorism and cognitivism both support the practice of analyzing a task and breaking it down into manageable chunks, establishing objectives, and measuring performance based on those objectives. Constructivism, on the other hand, promotes a more open-ended learning experience where the methods and results of learning are not easily measured and may not be the same for each learner.

While behaviorism and constructivism are very different theoretical perspectives, cognitivism shares some similarities with constructivism. An example of their compatibility is the fact that they share the analogy of comparing the processes of the mind to that of a computer. Consider the following statement by Perkins:

"...information processing models have spawned the computer model of the mind as an information processor. Constructivism has added that this information processor must be seen as not just shuffling data, but wielding it flexibly during learning -- making hypotheses, testing tentative interpretations, and so on." (Perkins, 1991, p.21 in Schwier, 1998 ).

Other examples of the link between cognitive theory and constructivism are:

* schema theory (Spiro, et al, 1991, in Schwier, 1998)
* connectionism (Bereiter, 1991, in Schwier, 1998)
* hypermedia (Tolhurst, 1992, in Schwier, 1998)
* multimedia (Dede, 1992, in Schwier, 1998)

Despite these similarities between cognitivism and constructivism, the objective side of cognitivism supported the use of models to be used in the systems approach of instructional design. Constructivism is not compatible with the present systems approach to instructional design, as Jonassen points out :

"The conundrum that constructivism poses for instructional designers, however, is that if each individual is responsible for knowledge construction, how can we as designers determine and insure a common set of outcomes for leaning, as we have been taught to do?" (Jonasson, [On-line])

In the same article, Jonassen (Jonasson, [On-line]) lists the following implications of constructivism for instructional design:

"...purposeful knowledge construction may be facilitated by learning environments which:

* Provide multiple representations of reality - avoid oversimplification of instruction by by representing the natural complexity of the world
* Present authentic tasks - contextualize
* Provide real-world, case-based learning environments, rather than pre-determined instructional sequences
* Foster reflective practice
* Enable context- and content-dependent knowledge construction
* Support collaborative construction of knowledge through social negotiation, not competition among learners for recognition

"Although we believe that constructivism is not a prescriptive theory of instruction, it should be possible to provide more explicit guidelines on how to design learning environments that foster constructivist learning"


Jonassen points out that the difference between constructivist and objectivist, (behavioral and cognitive), instructional design is that objective design has a predetermined outcome and intervenes in the learning process to map a pre-determined concept of reality into the learner's mind, while constructivism maintains that because learning outcomes are not always predictable, instruction should foster, not control, learning. With this in mind, Jonassen looks at the commonalties among constructivist approaches to learning to suggest a "model" for designing constructivist learning environments.

"...a constructivist design process should be concerned with designing environments which support the construction of knowledge, which ..."

* Is Based on Internal Negotiation
o a process of articulating mental models, using those models to explain, predict, and infer, and reflecting on their utility (Piaget's accommodation, Norman and Rumelhart's tuning and restructuring.)

* Is Based on Social Negotiation
o a process of sharing a reality with others using the same or similar processes to those used in internal negotiation
* Is Facilitated by Exploration of Real World Environments and Intervention of New Environments
o processes that are regulated by each individual's intentions, needs, and/or expectations
* Results in Mental Models and provides Meaningful, Authentic Contexts for Learning and Using the Constructed Knowledge
o should be supported by case-based problems which have been derived from and situated in the real world with all of its uncertainty and complexity and based on authentic realife practice
* Requires an Understanding of its Own Thinking Process and Problem Solving Methods
o problems in one context are different from problems in other contexts
* Modeled for Learners by Skilled Performers but Not Necessarily Expert Performers
* Requires Collaboration Among Learners and With the Teacher
o the teacher is more of a coach or mentor than a purveyor of knowledge
* Provides an Intellectual Toolkit to Facilitate an Internal Negotiation Necessary for Building Mental Models

(Jonasson, [On-line])

The technological advances of the 1980s and 1990s have enabled designers to move toward a more
constructivist approach to design of instruction. One of the most useful tools for the constructivist designer is hypertext and hypermedia because it allows for a branched design rather than a linear format of instruction. Hyperlinks allow for learner control which is crucial to constructivist learning; however, there is some concerns over the novice learner becoming "lost" in a sea of hypermedia. To address this concern, Jonassen and McAlleese (Jonnassen & McAlleese, [On-line]) note that each phase of knowledge acquisition requires different types of learning and that initial knowledge acquisition is perhaps best served by classical instruction with predetermined learning outcomes, sequenced instructional interaction and criterion-referenced evaluation while the more advanced second phase of knowledge acquisition is more suited to a constructivist environment.

If a novice learner is unable to establish an "anchor" in a hypermedia environment they may wander aimlessly through hypermedia becoming completely disoriented. Reigeluth and Chung suggest a prescriptive system which advocates increased learner control. In this method, students have some background knowledge and have been given some instruction in developing their own metacognitive strategies and have some way to return along the path they have taken, should they become "lost". (Davidson, 1998)

Most literature on constructivist design suggests that learners should not simply be let loose in a hypermedia or hypertext environment, but that a mix of old and new (objective and constructive) instruction/learning design be implemented. Davidson's (1998) article, suggesting a criteria for hypermedia learning based on an "exploration of relevant learning theories", is an example of this method.

Having noted the eclectic nature of instructional design, it is only fair to point out that not all theorists advocate a "mix and match" strategy for instructional design. Bednar, Cunningham, Duffy and Perry wrote an article that challenges the eclectic nature if instructional systems design by pointing out that "...abstracting concepts and strategies from the theoretical position that spawned then strips them of their meaning." They question objectivist epistemology completely and have adopted what they consider a constructivist approach to instructional design. In the article they compare the traditional approaches of analysis, synthesis, and evaluation to that of a constructivist approach. (Bednar, Cunningham, Duffy & Perry, 1995)



Learning Theories and the Practice of Instructional Design

What is the difference between the learning theories in terms of the practice of instructional design? Is one approach more easily achieved than another? To address this, one may consider that cognitive theory is the dominant theory in instructional design and many of the instructional strategies advocated and utilized by behaviorists are also used by cognitivists, but for different reasons. For example, behaviorists assess learners to determine a starting point for instruction, while cognitivists look at the learner to determine their predisposition to learning (Ertmer & Newby, 1993). With this in mind, the practice of instructional design can be viewed from a behaviorist/cognitivist approach as opposed to a constructivist approach.

When designing from a behaviorist/cognitivist stance, the designer analyzes the situation and sets a goal. Individual tasks are broken down and learning objectives are developed. Evaluation consists of determining whether the criteria for the objectives has been met. In this approach the designer decides what is important for the learner to know and attempts to transfer that knowledge to the learner. The learning package is somewhat of a closed system, since although it may allow for some branching and remediation, the learner is still confined to the designer's "world".

To design from a constructivist approach requires that the designer produces a product that is much more facilitative in nature than prescriptive. The content is not prespecified, direction is determined by the learner and assessment is much more subjective because it does not depend on specific quantitative criteria, but rather the process and self-evaluation of the learner. The standard pencil-and-paper tests of mastery learning are not used in constructive design; instead, evaluation is based on notes, early drafts, final products and journals. (Assessment [On-line])

Because of the divergent, subjective nature of constructive learning, it is easier for a designer to work from the systems, and thus the objective approach to instructional design. That is not to say that classical instructional design techniques are better than constructive design, but it is easier, less time consuming and most likely less expensive to design within a "closed system" rather than an "open" one. Perhaps there is some truth in the statement that "Constructivism is a 'learning theory', more than a 'teaching approach'." (Wilkinson, 1995)



Learning Theories - Some Strengths and Weaknesses

What are the perceived strengths and weaknesses of using certain theoretical approaches to instructional design?

Behaviorism

Weakness -the learner may find themselves in a situation where the stimulus for the correct response does not occur, therefore the learner cannot respond. - A worker who has been conditioned to respond to a certain cue at work stops production when an anomaly occurs because they do not understand the system.

Strength - the learner is focused on a clear goal and can respond automatically to the cues of that goal. - W.W.II pilots were conditioned to react to silhouettes of enemy planes, a response which one would hope became automatic.

Cognitivism

Weakness - the learner learns a way to accomplish a task, but it may not be the best way, or suited to the learner or the situation. For example, logging onto the internet on one computer may not be the same as logging in on another computer.

Strength - the goal is to train learners to do a task the same way to enable consistency. - Logging onto and off of a workplace computer is the same for all employees; it may be important do an exact routine to avoid problems.

Constructivism

Weakness - in a situation where conformity is essential divergent thinking and action may cause problems. Imagine the fun Revenue Canada would have if every person decided to report their taxes in their own way - although, there probably are some very "constructive" approaches used within the system we have.

Strength - because the learner is able to interpret multiple realities, the learner is better able to deal with real life situations. If a learner can problem solve, they may better apply their existing knowledge to a novel situation.

(Schuman, 1996)

Is There One Best Learning Theory for Instructional Design?

Why bother with Theory at all?

A solid foundation in learning theory is an essential element in the preparation of ISD professionals because it permeates all dimensions of ISD (Shiffman, 1995). Depending on the learners and situation, different learning theories may apply. The instructional designer must understand the strengths and weaknesses of each learning theory to optimize their use in appropriate instructional design strategy. Recipes contained in ID theories may have value for novice designers (Wilson, 1997), who lack the experience and expertise of veteran designers. Theories are useful because they open our eyes to other possibilities and ways of seeing the world. Whether we realize it or not, the best design decisions are most certainly based on our knowledge of learning theories.

An Eclectic Approach to Theory in Instructional Design

The function of ID is more of an application of theory, rather than a theory itself. Trying to tie Instructional Design to one particular theory is like school vs. the real world. What we learn in a school environment does not always match what is out there in the real world, just as the prescriptions of theory do not always apply in practice, (the real world). From a pragmatic point of view, instructional designers find what works and use it.

What Works and How Can We Use It?

Behaviorism, cognitivism and constructivism - what works where and how do we knit everything together to at least give ourselves some focus in our approach to instructional design? First of all we do not need to abandon the systems approach but we must modify it to accommodate constructivist values. We must allow circumstances surrounding the learning situation to help us decide which approach to learning is most appropriate. It is necessary to realize that some learning problems require highly prescriptive solutions, whereas others are more suited to learner control of the environment. (Schwier, 1995)

Jonnassen in Manifesto for a Constructive Approach to Technology in Higher Education ([On-line]) identified the following types of learning and matched them with what he believes to be appropriate learning theory approaches.

1. Introductory Learning - learners have very little directly transferable prior knowledge about a skill or content area. They are at the initial stages of schema assembly and integration. At this stage classical instructional design is most suitable because it is predetermined, constrained, sequential and criterion-referenced. The learner can develop some anchors for further exploration.

2. Advanced Knowledge Acquisition - follows introductory knowledge and precedes expert knowledge. At this point constructivist approaches may be introduced.

3. Expertise is the final stage of knowledge acquisition. In this stage the learner is able to make intelligent decisions within the learning environment. A constructivist approach would work well in this case.

Having pointed out the different levels of learning, Jonassen stresses that it is still important to consider the context before recommending any specific methodology.

Reigeluth's Elaboration Theory which organizes instruction in increasing order of complexity and moves from prerequisite learning to learner control may work in the eclectic approach to instructional design, since the learner can be introduced to the main concepts of a course and then move on to more of a self directed study that is meaningful to them and their particular context.

After having compared and contrasted behaviorism, cognitivism and constructivism, Ertmer and Newby (1993) feel that the instructional approach used for novice learners may not be efficiently stimulating for a learner who is familiar with the content. They do not advocate one single learning theory, but stress that instructional strategy and content addressed depend on the level of the learners. Similar to Jonassen, they match learning theories with the content to be learned:

... a behavioral approach can effectively facilitate mastery of the content of a
profession (knowing what); cognitive strategies are useful in teaching problem
-solving tactics where defined facts and rules are applied in unfamiliar situations
(knowing how); and constructivist strategies are especially suited to dealing with
ill-defined problems through reflection-in-action. (Ertmer P. & Newby, T., 1993)

Behavioral
... tasks requiring a low degree of processing (e.g., basic paired associations,
discriminations, rote memorization) seem to be facilitated by strategies most
frequently associated with a behavioral outlook (e.g., stimulus-response, contiguity
of feedback/reinforcement).

Cognitive

Tasks requiring an increased level of processing (e.g., classifications, rule or
procedural executions) are primarily associated with strategies
having a stronger cognitive emphasis (e.g., schematic organization, analogical
reasoning, algorithmic problem solving).

Constructive
Tasks demanding high levels of processing (e.g., heuristic problem solving,
personal selection and monitoring of cognitive strategies) are frequently

est learned with strategies advanced by the constructivist perspective (e.g.,
situated learning, cognitive apprenticeships, social negotiation.

(Ertmer P. & Newby, T., 1993)

Ertmer and Newby (1993) believe that the strategies promoted by different learning theories overlap (the same strategy for a different reason) and that learning theory strategies are concentrated along different points of a continuum depending of the focus of the learning theory - the level of cognitive processing required.



Ertmer and Newby's suggestion that theoretical strategies can complement the learner's level of task knowledge, allows the designer to make the best use of all available practical applications of the different learning theories. With this approach the designer is able to draw from a large number of strategies to meet a variety of learning situations.



Conclusion

Upon completion of this site on learning theories and instructional design, I have not only accomplished my objective, but gained insight and appreciation for the different learning theories and their possible application to instructional design.

It was interesting for me to find that I am not alone in my perspective regarding learning theories and instructional design. There is a place for each theory within the practice of instructional design, depending upon the situation and environment. I especially favor the idea of using an objective approach to provide the learner with an "anchor" before they set sail on the open seas of knowledge. A basic understanding of the material in question provides the learner with a guiding compass for further travel.

Another consideration is the distinction between "training" and "education". In today's competitive business world, the instructional designer may be required to establish and meet the objectives of that business. On the other hand, in a school setting, the designer may be challenged to provide material that fosters an individual to find divergent approaches to problem solving. Whichever situation the instructional designer finds themselves in, they will require a thorough understanding of learning theories to enable them to provide the appropriate learning environment.

Finally, though Instructional Design may have a behaviorist tradition, new insights to the learning process continue to replace, change and alter the process. Advancements in technology make branched constructivist approaches to learning possible. Whether designing for training or education, the instructional designer's toolbox contains an ever changing and increasing number of theoretical applications and physical possibilities. With intelligent application of learning theory strategies and technology, the modern designer will find solutions to the learning requirements of the 21st century.





**Web addresses updated Feb. 5, 2001. Some sites seem to be no longer available, but I am searching for them.
References & Bibliography

Assessment in a constructivist learning environment. [On-line] http://www.coe.missouri.edu:80tiger.coe.missouri.edu/

Bednar, A.K., Cunningham, D., Duffy, T.M., Perry, J.P. (1995). Theory into practice: How do we link? In G.J. Anglin (Ed.), Instructional technology: Past, present and future. (2nd ed., pp. 100-111)., Englewood, CO: Libraries Unlimited, Inc.

Behaviorism and constructivism. [On-line]. Available: http://hagar.up.ac.za/catts/learner/debbie/CADVANT.HTM



Behaviorism. [On-line]. Available: http://sacam.oren.ortn.edu/~ssganapa/disc/behave.html

Beyond constructivism - contextualism. [On-line]. Available: http://tiger.coe.missouri.edu/~t377/cx_intro.html

Black, E. (1995). Behaviorism as a learning theory. [On-line]. Available: http://129.7.160.115/inst5931/Behaviorism.html

Bracy, B. (Undated) Emergent learning technologies. [On-line]. Available: gopher://unix5.nysed.gov/00/TelecommInfo/Reading%20Room%20Points%20View/

Burney, J. D. (Undated). Behaviorism and B. F. Skinner. [On-line]. Available: http://www2.una.edu/education/Skinner.htm

Conditions of learning (R. Gagne). [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~tip/gagne.html

Constructivist theory (J. Bruner). [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~tip/bruner.html

Cunningham, D. J. (1991). Assessing constructions and constructing assessments: A dialogue. Educational Technology, May, 13-17.

Davidson, K. (1998). Education in the internet--linking theory to reality. [On-line]. Available: http://www.oise.on.ca/~kdavidson/cons.html

Dembo, M. H. (1994). Applying educational psychology (5th ed.). White Plains, NY: Longman Publishing Group.

Dick, W. (1991). An instructional designer's view of constructivism. Educational Technology, May, 41-44.

Dorin, H., Demmin, P. E., Gabel, D. (1990). Chemistry: The study of matter. (3rd ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.

Duffy, T. M., Jonassen, D. H. (1991). Constructivism: New implications for instructional technolgy? Educational Technology, May, 7-12.

Ertmer, P. A., Newby, T. J. (1993). Behaviorism, cognitivism, constructivism: Comparing critical features from an instructional design perspective. Performance Improvement Quarterly, 6 (4), 50-70.

Genetic epistemology (J.Piaget). [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~tip/piaget.html

Good, T. L., Brophy, J. E. (1990). Educational psychology: A realistic approach. (4th ed.).White Plains, NY: Longman

Information processing theory and instructional technology. [On-line]. Available: http://tiger.coe.missouri.edu/~t377/IPTools.html

Information process theory of learning. [On-line]. Available: http://tiger.coe.missouri.edu/~t377/IPTheorists.html

Jonassen, D. H. (1991) Objectivism versus constructivism: do we need a new philosophical paradigm? Educational Technology Research and Development, 39 (3), 5-14.

Jonasson, D.H. (Undated). Thinking technology: Toward a constructivist design model. [On-line]. Available: http://ouray.cudenver.edu/~slsanfor/cnstdm.txt

Jonassen, D. H., McAleese, T.M.R. (Undated). A Manifesto for a constructivist approach to technology in higher education. [Last Retrieved December 12, 2005]. http://apu.gcal.ac.uk/clti/papers/TMPaper11.html

Khalsa, G. (Undated). Constructivism. [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~etl/khalsa.html

Kulikowski, S. (Undated). The constructivist tool bar. [On-line]. Available: http://www.coe.missouri.edu:80tiger.coe.missouri.edu/

Learning theory: Objectivism vs constructivism.[On-line]. Available: http://media.hku.hk/cmr/edtech/Constructivism.html

Lebow, D. (1993). Constructivist values for instructional systems design: Five principles toward a new mindset. Educational Technology Research and Development, 41 (3), 4-16.

Lewis, D. (1996). Perspectives on instruction. [On-line]. Available: http://edweb.sdsu.edu/courses/edtech540/Perspectives/Perspectives.html

Lieu, M.W. (1997). Final project for EDT700, Learning theorists and learning theories to modern instructional design. [On-line]. Available: http://www.itec.sfsu.edu/faculty/kforeman/edt700/theoryproject/index.html

Merrill, M. D. (1991). Constructivism and instructional design. Educational Technology, May, 45-53.

Military. [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~tip/military.html

Operant conditioning (B.F. Skinner). [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~tip/skinner.html

Operant conditioning and behaviorism - an historical outline. [On-line]. Available: http://www.biozentrum.uni-wuerzburg.de/genetics/behavior/learning/behaviorism.html

Perkins, D. N. (1991). Technology meets constructivism: Do they make a marriage? Educational Technology , May, 18-23.

Reigeluth, C. M. (1989). Educational technology at the crossroads: New mindsets and new directions. Educational Technology Research and Development, 37(1), 1042-1629.

Reigeluth, C. M. (1995). What is the new paradigm of instructional theory. [On-line]. Available: http://itech1.coe.uga.edu/itforum/paper17/paper17.html

Reigeluth, C. M. (1996). A new paradigm of ISD? Educational Technology, May-June, 13-20.

Reigeluth, C. (Undated). Elaboration theory. [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~tip/reigelut.html

Rizo,F.M. (1991). The controversy about quantification in social research: An extension of Gage's "historical sketch." Educational Researcher, 20 (12), 9-12

Saettler, P. (1990). The evolution of american educational technology . Englewood, CO: Libraries Unlimited, Inc.

Schiffman, S. S. (1995). Instructional systems design: Five views of the field. In G.J. Anglin (Ed.), Instructional technology: Past, present and future. (2nd ed., pp. 131-142)., Englewood, CO: Libraries Unlimited, Inc.

Schuman, L. (1996). Perspectives on instruction. [On-line]. Available: http://edweb.sdsu.edu/courses/edtec540/Perspectives/Perspectives.html

Schwier, R. A. (1995). Issues in emerging interactive technologies. In G.J. Anglin (Ed.), Instructional technology: Past, present and future. (2nd ed., pp. 119-127)., Englewood, CO: Libraries Unlimited, Inc.

Schwier, R. A. (1998). Schwiercourses, EDCMM 802, Unpublished manuscript, University of Saskatchewan at Saskatoon, Canada.

Shank, P. (Undated). Constructivist theory and internet based instruction. [On-line]. Available: http://www.gwu.edu/~etl/shank.html

Skinner, Thorndike, Watson. [On-line]. Available: http://userwww.sfsu.edu/~rsauzier/Thorndike.html

Smorgansbord, A., (Undated). Constructivism and instructional design. [On-line]. Available: http://hagar.up.ac.za/catts/learner/smorgan/cons.html

Spiro, R. J., Feltovich, M. J., Coulson, R. J. (1991). Cognitive flexibility, constructivism, and hypertext: Random access instruction for advanced knowledge acquisition in ill-structured domains. Educational Technology, May, 24-33.

White, A. (1995) Theorists of behaviorism. [On-line]. Available: http://tiger.coe.missouri.edu/~t377/btheorists.html

Wilkinson. G.L. (Ed.) (1995). Constructivism, objectivism, and isd. IT forum discussion, April 12 to August 21, 1995. [On-line]. Available: http://itech1.coe.uga.edu/itforum/extra4/disc-ex4.html

Wilson, B. G. (1997). Thoughts on theory in educational technology. Educational Technology, January-February, 22-27.

Wilson, B. G. (1997). Reflections on constructivism and instructional design. [On-line]. Available: http://www.cudenver.edu/~bwilson/construct.html

IV.
A. Pendahuluan



Pengajaran identik dengan pendidikan. Proses pengajaran adalah proses pendidikan. Setiap kegiatan pengajaran adalah untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengajaran adalah suatu proses aktivitas mengajar dan belajar, di dalamnya terdapat dua subjek yang saling terlibat, yaitu guru dan peserta didik. Banyak ditemukan tafsiran tentang pengajaran. Pada kenyataannya, pandangan tentang istilah pengajaran terus menerus berkembang dan mengalami kemajuan.


Istilah mengajar dan belajar adalah dua peristiwa yang berbeda, akan tetapi antara keduanya terdapat hubungan yang erat, saling mempengaruhi, dan saling menunjang satu sama lain. Secara sederhana mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa atau peserta didik di sekolah. Mengajar juga berarti suatu usaha untuk mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa. Pada hakikatnya, kegiatan mengajar adalah suatu kegiatan yang sangat kompleks.

Sementara itu, belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Lebih lanjut dapat dicermati bahwa belajar pada esensinya adalah usaha mengubah diri menjadi lebih baik, melalui proses yang terus menerus. Adanya proses yang panjang dan tertata dengan rapi serta berjenjang akan memungkinkan belajar menjadi lebih baik dan efisien.

Bertolak dari uraian singkat di atas, maka untuk mendapatkan pemahaman yang integral tentang pengajaran, makalah yang sederhana ini akan mencoba menguraikan tentang teori-teori belajar dan prinsip-prinsip yang mendasari pengajaran, dengan harapan dapat menjadi kontribusi bagi para pembaca dalam memahami dua fondasi dasar proses pengajaran tersebut secara komprehensif.

A. Teori-Teori Belajar



Secara eksplisit dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku. Banyak teori belajar menurut literatur psikologi, yang mana teori itu bersumber dari teori atau aliran-aliran psikologi. Tiap teori mempunyai dasar tertentu.[1] Secara garis besar dikenal ada tiga rumpun besar teori belajar menurut pandangan psikologi, yaitu teori disiplin mental, teori behaviorisme, dan teori cognitive gestalt-filed.

1. Teori Disiplin Mental

Sebelum abad ke-20, telah berkembang beberapa teori belajar, salah satunya adalah teori disiplin mental. Teori belajar ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen, dan ini berarti dasar orientasinya adalah “filosofis atau spekulatif”. Namun teori-teori sebelum abad ke-20, seperti teori dispilin mental ini, sampai sekarang masih ada pengaruhnya, terutama dalam pelaksanaan pengajaran di sekolah-sekolah.

Tokoh teori disiplin mental adalah Plato dan Aristoteles.[2] Teori disiplin mental ini menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa harus didisiplinkan atau dilatih.[3] Seperti dalam mengajar siswa “membaca”, guru perlu melatih “otot-otot” mental siswa dengan cara disuruh menyebutkan kata-kata atau huruf dengan suara keras. Kemudian memberikan daftar kata-kata dengan menggunakan kartu-kartu. Bagi siswa yang belum mampu menguasai materi, maka guru harus terus melatih sampai dapat.

Menurut rumpun psikologi teori disiplin mental ini, individu memiliki kekuatan, kemampuan, atau potensi-potensi tertentu, Belajar adalah mengembangkan diri dari kekuatan, kemampuan, dan potensi-potensi individu tersebut.

2. Teori Behaviorisme

Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur.[4] Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul. Beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu:[5]

a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil

b. Bersifat mekanistis

c. Menekankan peranan lingkungan

d. Mementingkan pembentukan reaksi atau respons

e. Menekankan pentingnya latihan



Ada beberapa teori belajar yang termasuk pada rumpun behaviorisme ini, antara lain:

a. Teori Koneksionisme

Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Teori belajar koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949), berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.[6] Eksperimennya belajar pada binatang yang juga berlaku bagi manusia tersebut, disebut Thorndike dengan “trial and error”.

Menurut teori belajar ini, belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau dikenal dengan hubungan antara Stimulus dan Respons (S-R).[7]

Dengan kata lain, menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain adalah suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respons sebanyak-banyaknya. Ikatan-ikatan atau koneksi-koneksi dapat diperkuat atau diperlemah serasi dengan banyaknya penggunaan dan pengaruh-pengaruh dari stimulus-respons tersebut.[8] Dapat dipahami bahwa siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya dia-lah orang yang pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan.

Oleh karena itulah, teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respons sebanyak-banyaknya.

Selanjutnya, dalam teori koneksionisme ini Thorndike mengemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut:

1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)

Dimana hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Implikasi praktis dari hukum ini adalah, bahwa keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan.

2) Hukum Latihan (Law of Exercise)

Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu.



3) Hukum Akibat (Law of Effect)

Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya, contohnya dengan memberikan hadiah atau pujian. Sebaliknya, apabila yang diharapkan dari seseorang adalah untuk tidak mengulangi respons yang diberikan, maka harus diberi sesuatu yang tidak menyenangkannya, contohnya dengan memberi hukuman.



Disamping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah transfer of training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran, konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting.



b. Teori Pengkondisian (Conditioning)

Teori pengkondisian (conditioning) merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov (1849-1936). Ia adalah ahli psikologi-refleksologi dari Rusia.[9] Sebagaimana dijelaskan oleh Henry C. Ellis, bahwa dalam prosedur penelitiannya Pavlov menggunakan laboratorium binatang sebagai tempat penelitian.[10] Sama halnya dengan Thorndike, dia juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan peri­laku perlu dibantu dengan kondisi tertentu.

Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov dengan menggunakan air liur anjing. Dalam per­cobaannya, Pavlov ingin membentuk tingkah laku tertentu pada anjing. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang berkali-kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makanannya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan.

Dari eksperimen tersebut dapat dipahami bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang­-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu. Artinya, belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu.



c. Teori Penguatan (Reinforcement)

Kalau pada teori pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah perangsangnya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya. Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pada anak itu dengan nilai yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi. Hadiah itu me-reinforce hubungan antara stimulus dan respons.[11]

d. Teori Operant Conditioning

Psikologi penguatan atau “operant conditioning” merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme dan “conditioning”. Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses “conditioning” yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku adalah karena adanya hubungan antara stimulus dengan respons. Menurut Skinner, tingkah laku bukanlah sekedar respons terhadap stimulus, tetapi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau operant. Ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya.[12]

Skinner mem­bedakan dua macam respons, yakni respondent response (reflexive res­ponse) dan operant response (instrumental respons). Respondent response adalah respons yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang ter­tentu, misalnya perangsang stimulus makanan menimbulkan keluar­nya air liur. Respons ini relatif tetap. Artinya, setiap ada stimulus semacam itu akan muncul respons tertentu. Dengan demikian, pe­rangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respons yang ditimbulkannya.

Operant response atau instrumental response adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian yang disebut reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan organisme. Jadi dengan demikian, perangsang tersebut mengikuti dan memperkuat suatu tingkah laku yang telah dilakukan. Misalnya, jika seseorang telah belajar melakukan sesuatu lalu men­dapat hadiah sebagai reinforcer, maka ia akan menjadi lebih giat dalam belajar.

Pada perilaku manusia respondent response bersifat sangat terbatas, oleh karena itu sangat kecil untuk dapat dimodifikasi. Sebaliknya, operant response atau instrumental response sifatnya tidak terbatas, oleh karena itu kemungkinan untuk dapat dimodifikasi sangat besar. Dengan demikian, untuk mengubah tingkah laku, dapat meng­gunakan instrumental response.

Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah “programmed instruction” dengan menggunakan media buku. Dalam pengajaran berprogram, bahan ajaran tersusun dalam potongan bahan kecil-kecil, dan disajikan dalam bentuk informasi dan tanya jawab. Suatu respons diperkuat oleh penghargaan berupa nilai yang tinggi dari kemampuannya menyelesaikan soal-soal ujian. Pemberian nilai adalah penerapan teori penguatan yang disebut juga dengan “operant conditioning”.

Secara keseluruhan, dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip belajar menurut teori behaviorisme adalah sebagai berikut:

a. Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif di dalamnya

b. Materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu respons tertentu saja

c. Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan segera mengetahui apakah respons yang diberikan betul atau tidak

d. Perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respons apakah bersifat positif atau negatif





3. Teori Cognitive Gestalt-Filed

Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif. Menurut teori ini, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) dan bukan respons. Teori belajar Gestalt (Gestalt Theory) ini lahir di Jerman tahun 1912, yang dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving.[13] Dari pengamatannya ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian dan bukan hafalan akademis.

Ciri-ciri teori ini adalah:[14]

a. Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia

b. Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian

c. Mementingkan peranan kognitif

d. Mementingkan pembentukan struktur kognitif

e. Mementingkan keseimbangan dalam diri manusia

f. Mengutamakan insight



Lebih lanjut, dapat dipahami bahwa Gestalt dalam bahasa Jerman berarti “whole configuration” atau bentuk yang utuh, pola, kesatuan, dan keseluruhan. Arti Gestalt adalah keseluruhan lebih berarti dari bagian-bagian.[15] Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu didahului oleh keseluruhan.[16] Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan.

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental.[17] Rumpun psikologi Gestalt bersifat molar, yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu keterpaduan.[18]

Belajar Gestalt menekankan pemahaman atau “insight” dan pengamatan sebagai suatu alternatif. Sumbangannya ini diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang “insight” pada simpanse, yaitu mengenai mentalitas simpanse (ape) di pulau Canary. Dari percobaan tersebut, diketahui tentang hakikat belajar. Belajar terjadi karena kemampu­an menangkap makna dan keterhubungan antara komponen yang ada di lingkungannya. Pandangannya ini bertentangan dengan pandangan Thorndike mengenai belajar, yang menganggap sebagai proses “trial and error”.

Menurut teori Gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalah­an. Berbeda dengan teori behaviorisme yang menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku.

Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight.[19] Insight yang merupakan inti dari belajar menurut teori Gestalt, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kemampuan insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut

b. Insight tergantung dari pengalaman masa lalu yang relevan

c. Insight tergantung kepada pengaturan dan penyediaan ling­kungannya

d. Pengertian merupakan inti dari insight

e. Apabila insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain



Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah:

a. Belajar itu berdasarkan keseluruhan

Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.

b. Anak yang belajar merupakan keseluruhan

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.

c. Belajar berkat insight

Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi itu anak akan mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.









d. Belajar berdasarkan pengalaman

Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melaku­kan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus-menerus disempurnakan. Proses membelajarkan ada­lah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.



B. Prinsip-Prinsip Pengajaran



Tugas guru mengelola pengajaran dengan lebih baik, efektif, dinamis, efisien, ditandai dengan keterlibatan peserta didik secara aktif, mengalami, serta memperoleh perubahan diri dalam pengajaran. Yang dimaksud dalam proses pengajaran adalah guru dan peserta didik sama-sama aktif karena keduanya sebagai subjek pengajaran. Dalam proses pengajaran, ada beberapa prinsip pengajaran yang secara relatif berlaku umum, diantaranya adalah:

1. Prinsip Aktivitas

Pengalaman belajar yang baik hanya bisa didapat bila peserta didik mau mengaktifkan dirinya sendiri dengan bereaksi terhadap lingkungan. Belajar yang berhasil mesti melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik maupun aktivitas psikis. Aktifitas fisik adalah peserta didik giat dan aktif dengan anggota badan. Peserta didik yang memiliki aktivitas psikis (kejiwaan) ialah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka pengajaran.

Memberikan kesempatan beraktivitas kepada siswa bukan dalam arti semua kegiatan belajar mengajar diserahkan kepada siswa tetapi prinsip aktivitas maksudnya adalah bahwa guru harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan sesuatu dalam mengembangkan dirinya dan mengekpresikan kemampuannya secara total. Dengan demikian guru hanyalah men-stimulant, sedangkan yang mengolah dan mencerna adalah peserta didik itu sendiri sesuai kemauan, kemampuan, bakat, dan latar belakang masing-masing. Jadi belajar adalah suatu proses dimana peserta didik harus aktif.

Prinsip ini sudah sangat tegas dan jelas dalam al-Qur’an, pedoman hidup seorang muslim, sebagimana firman Allah Swt:




“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)



Lebih tegasnya lagi Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka berusaha merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11)





Dalam prinsip ini, maka tugas guru dalam mengajar antara lain:

1. Membangkitkan keaktifan jiwa siswa melalui:

a. Guru banyak mengajukan pertanyaan dan membimbing diskusi

b. Memberikan tugas untuk memecahkan masalah-masalah, menganalisis, mengambil keputusan

c. Membuat berbagai percobaan dengan menyimpulkan, memberi pendapat

2. Membangkitkan keaktifan jasmani siswa, maka guru perlu:

a. Menyelenggarakan berbagai bentuk pekerjaan keterampilan di bengkel, laboraturium

b. Mengadakan pameran, karyawisata

1. Prinsip Motivasi

Motivasi berasal kata motive–motivation yang berarti dorongan atau keinginan, baik datang dari dalam diri (instrinsik) maupun dorongan dari luar diri seseorang (ekstrinsik). Motif atau biasa juga disebut dorongan atau kebutuhan, merupakan suatu tenaga yang berada pada diri individu atau siswa, yang mendorongnya untuk berbuat dalam mencapai suatu tujuan.[20]

Motivasi terbentuk oleh tenaga-tenaga yang bersumber dari dalam dan dari luar individu.[21] Seorang guru harus berusaha untuk menimbulkan motif-motif pada diri peserta didik yang menunjang kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran. Bentuk kegiatan guru adalah menciptakan kondisi belajar sedemikian rupa (bermacam-macam motif) sehingga siswa mau melakukan apa yang dapat mereka lakukan (termotivasi untuk belajar).

Beberapa cara untuk menumbuhkankembangkan motivasi pada siswa adalah:

a. Cara mengajar yang variatif

b. Mengadakan pengulangan informasi

c. Memberikan stimulan baru, dengan pertanyaan-pertanyaan

d. Memberikan kesempatan pada siswa untuk menyalurkan keinginan belajar

e. Menggunakan media dan alat peraga atau alat bantu yang menarik perhatian siswa seperti foto, gambar, diagram, mind mapping



1. Prinsip Individualitas (Perbedaan Individu)

Setiap manusia adalah individu yang mempunyai kepribadian dan kejiwaan yang khas. Secara psikologis, prinsip perbedaan individualitas sangat penting diperhatikan karena:

a. Setiap anak mempunyai sifat, bakat, dan kemampuan yang berbeda

b. Setiap individu berbeda cara belajarnya

c. Setiap individu mempunyai minat khusus yang berbeda

d. Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda

e. Setiap individu membutuhkan bimbingan khusus dalam menerima pelajaran yang diajarkan guru sesuai dengan perbedaan individual

f. Setiap individu mempunyai irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda



Maksud dari irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda adalah bahwa siswa belajar dalam kelas dalam usia perkembangan. Masing-masing siswa tidak sama perkembangannya, ada yang cepat ada yang lambat maka guru harus bersabar dalam tugas pelayanan belajar pada anak didiknya.

Maka setiap guru mengajar harus diimplikasikan sebagai berikut:

1. Setiap memberikan tugas kelompok, hendaklah didasarkan pada tingkat kepandaian peserta didik

2. Guru memberikan tugas-tugas unit dengan kemungkinan memilih macam-macam kegiatan dan pengalaman bagi setiap peserta didik

3. Guru memberikan tugas–tugas individual kepada beberapa peserta didik setelah dalam suatu kelompok

4. Guru jangan memberikan tugas-tugas berupa hafalan-hafalan dan fakta-fakta saja, tetapi perlu juga pengajaran dengan ekperimen, demonstrasi, pemecahan soal, dan tugas serta penyelidikan yang mengandung motivasi dan kebangkitan aktivitas peserta didik



1. Prinsip Lingkungan

Lingkungan adalah sesuatu hal yang berada di luar diri individu. Lingkungan pengajaran adalah segala hal yang mendukung pengajaran itu sendiri yang dapat difungsikan sebagai sumber pengajaran atau sumber belajar. Diantaranya; guru, buku, dan bahan pelajaran yang menjadi sumber belajar.

Anak memiliki berbagai potensi yang tumbuh dan berkembang tergantung pada interaksi siswa dengan lingkungannya. Pembawaan menentukan batas-batas kemungkinan yang dicapai oleh individu, tetapi lingkungan sangat menentukan dalam kenyataan.

Antara lingkungan dan pembawaan saling membutuhkan dan saling melengkapi, sehingga keduanya terdapat jalinan yang erat. Menurut sebagian pakar psikologi, faktor pembawaan lebih menentukan untuk pembentukan intelegensi, fisik, dan reaksi indrawi, sedangkan faktor lingkungan sangat menetukan pembentukan kebiasaan, kepribadian, sikap, nilai, dan sebagainya. Hal ini juga secara tegas telah disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya:



”Dari Abi Hurairah berkata, bersabda Rasulullah Saw., setiap anak yang dilahirkan menurut fitrahnya (suci), maka kedua ibu dan bapaknya-lah yang menyebabkan anak itu beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”[22] (H.R. Bukhari)



Secara kasat mata dari sabda Rasulullah di atas dapat dipahami bahwa adanya keterkaitan, yakni saling pengaruh dan mempengaruhi antara pembawaan dan lingkungan. Dengan demikian bila seorang guru atau pengajar tidak mengindahkan prinsip lingkungan bisa berakibat peserta didik tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan dimana mereka tinggal (hidup).





1. Prinsip Konsentrasi

Konsentrasi adalah pemusatan secara penuh terhadap sesuatu yang sedang dikerjakan atau berlangsungnya suatu peristiwa. Konsentrasi sangat penting dalam segala aktivitas, terutama aktivitas belajar mengajar.

Pekerjaaan yang amat berat di dalam kelas bagi seorang guru adalah bagaimana menciptakan suasana kelas (siswa) bisa berkonsentrasi. Guru harus berupaya sekuat tenaga membuat dan mendorong peserta didik berkonsentrasi dan melakukan suatu penyelidikan, serta menemukan sesuatu yang dapat digunkan kelak untuk kehidupannya dalam masyarakat. Maka dalam setiap pengajaran, guru dituntut untuk dapat mengatur atau mengelola pengajaran sebaik dan sebijaksana mungkin.

Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya yang berbunyi sebagai berikut:






"Seandainya hatinya (jiwanya) telah khusuk (konsentrasi) maka seluruh anggota tubuhnya juga akan ikut khusuk (konsentrasi) pula”. (al-Hadits)



Para ahli kejiwaan menyimpulkan bahwa jika konsentrasi pada sesuatu telah lahir maka tidak ada lagi stimulus lain masuk ke dalam alam sadar seseorang, sehingga pengamatan semakin cermat dan berjalan dengan baik.



1. Prinsip Kebebasan

Prinsip kebebasan dalam pengajaran yang dimaksud adalah kebebasan yang demokratis, yaitu kebebasan yang diberikan kepada peserta didik dalam aturan dan disiplin tertentu. Dan disiplin merupakan suatu dimensi kebebasan dalam proses penciptaan situasi pengajaran. Seorang guru dituntut berusaha bagaimana menerapkan suatu metode mengajar yang dapat mengembangkan dimensi-dimensi kebebasan self direction, self discipline,dan self control.

Setiap siswa harus dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Untuk itu mereka harus dibimbing sedemikian rupa sehingga mereka mampu mandiri. Guru tidak boleh memaksakan kehendak mereka pada peserta didik, sehingga akan berdampak pada peserta didik, yang mengakibatkan mereka tidak mandiri, tergantung pada orang lain, dan tidak punya inisiatif.



1. Prinsip Peragaan

Alat indera merupakan pintu gerbang pengetahuan. Peragaan adalah menggunakan alat indera untuk mengamati, meneliti, dan memahami sesuatu. Pemahaman yang mendalam akan lahir dari analisa yang komprehensif sehingga menghasilkan gambaran yang lengkap tentang sesuatu.

Agar siswa dapat mengingat, menceritakan, dan melaksanakan suatu pelajaran yang pernah diamati, diterima, atau dialami di kelas, maka perlu didukung dengan peragaan-peragaan (media pengajaran) yang bisa mengkonkritkan yang abstrak.

Bentuk upaya guru untuk merangsang mengkonkritkan yang abstrak dapat dilakukan antara lain:

a. Siswa diberi perbendaharaan tanggapan yang besar, memberikan tanggapan sebanyak-banyaknya dengan menggunakan alat peraga.

b. Guru mengajarkan sesuatu pada siswa dengan mempertautkan tanggapan-tanggapan yang telah ada pada diri siswa.

c. Guru mengajar kata-kata baru dengan menyuruh siswa melihat, mendengar, mengucapkan, dan menuliskannya.



Ada dua macam peragaan dalam dunia pendidikan :

a. Peragaan langsung, yaitu dengan memperlihatkan bendanya sendiri (asli) ke dalam kelas dan mengadakan percobaan-percobaan ke laboratorium, ke pabrik-pabrik, ke kebun binatang, dan sebagainya.

b. Peragaan tidak langsung, yaitu dengan menunjukan benda tiruan, seperti gambar, foto, film, dan sebagainya.



1. Prinsip Kerjasama Dan Persaingan

Kerjasama dan persaingan adalah dua hal berbeda. Namun dalam dunia pendidikan (prinsip pengajaran) keduanya bisa bernilai positif selama dikelola dengan baik. Persaingan yang dimaksud bukan persaingan untuk saling menjatuhkan dan yang lain direndahkan, tetapi persaingan yang dimaksud adalah persaingan dalam kelompok belajar agar mencapai hasil yang lebih tinggi tanpa menjatuhkan orang atau siswa lain.

Kerja sama kelompok sangat penting bagi peserta didik untuk membangun sikap demokratis, maka guru dituntut melaksanakan prinsip kerjasama atau kerja kelompok. Dalam kerja kelompok terbentuk relasi antar individu secara aktif, namun di dalamnya tidak tertutup kemungkinan terjadi persaingan secara sehat dan baik. Maka sebelum belajar kelompok, guru dituntut memberikan arahan yang baik pula.



1. Prinsip Apersepsi

Apersepsi berasal dari kata ”Apperception” berarti menyatupadukan dan mengasimilasikan suatu pengamatan dengan pengalaman yang telah dimiliki.[23] Atau kesadaran seseorang untuk berasosiasi dengan kesan-kesan lama yang sudah dimiliki dibarengi dengan pengolahan sehingga menjadi kesan yang luas. Kesan yang lama itu disebut bahan apersepsi.

Apersepsi dalam pengajaran adalah menghubungan pelajaran lama dengan pelajaran baru, sebagai batu loncatan sejauh mana anak didik mengusai pelajaran lama sehingga dengan mudah menyerap pelajaran baru.



1. Prinsip Korelasi

Korelasi yaitu menghubungkan pelajaran dengan kehidupan anak atau dengan pelajaran lain sehingga pelajaran itu bermakna baginya. Korelasi akan melahirkan asosiasi dan apersepsi sehingga dapat membangkitkan minat siswa pada pelajaran yang disampaikan.



1. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas

Prinsip efisiensi dan efektifitas maksudnya adalah bagaimana guru menyajikan pelajaran tepat waktu, cermat, dan optimal. Alokasi waktu yang telah dirancang tidak sia-sia begitu saja, seperti terlalu banyak bergurau, memberi nasehat, dan sebagainya. Jadi semua aspek pengajaran (guru dan peserta didik) menyadari bahwa pengajaran yang ada dalam kurikulum mempunyai manfaat bagi siswa pada masa mendatang.



1. Prinsip Globalitas

Prinsip global atau integritas adalah keseluruhan yang menjadi titik awal pengajaran. Memulai materi pelajaran dari umum ke yang khusus. Dari pengenalan sistem kepada elemen-elemen sistem. Pendapat ini terkenal dengan Psikologi Gestalt bahwa totalitas lebih memberikan sumbangan berharga dalam pengajaran.



1. Prinsip Permainan dan Hiburan

Setiap individu atau peserta didik sangat membutuhkan permainan dan hiburan apalagi setelah terjadi proses belajar mengajar. Bila selama dalam kelas siswa diliputi suasana hening, sepi, dan serius, akan membuat peserta didik cepat lelah, bosan, butuh istirahat, rekreasi, dan semacamnya. Maka guru disarankan agar memberikan kesempatan kepada anak didik bermain, menghibur diri, bergerak, berlari-lari, dan sejenisnya untuk mengendorkan otaknya.

C. Penutup



Pengajaran adalah sesuatu yang kompleks yang melibatkan interaksi antara pendidik dengan peserta didik, bahkan dengan lingkungan maupun sumber belajar lainnya. Mengajar dan belajar adalah dua bentuk aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu proses pengajaran. Mengajar dan belajar adalah dua komponen fundamental yang ditemui dalam suatu proses pengajaran. Pemahaman yang benar mengenai pengajaran, terutama menyangkut teori-teori dan prinsip-prinsip yang mendasari pengajaran dari segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik.

Untuk menjelaskan bagaimana proses belajar itu berlangsung, timbul berbagai teori. Tiap teori mempunyai dasar tertentu. Tapi dapat dipahami bahwa ada tiga rumpun besar teori belajar secara global, yaitu teori disiplin mental, teori behaviorisme, dan teori cognitive gestalt-filed. Dalam hal ini, pengetahuan tentang teori-teori belajar dapat membantu kesuksesan guru mengajar. Demikian juga terdapat beberapa prinsip mengajar yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman guru dalam membantu mencapai hasil belajar yang optimal.

V.
1. Teori Disiplin Mental

Sebelum abad ke-20, telah berkembang beberapa teori belajar, salah satunya adalah teori disiplin mental. Teori belajar ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen, dan ini berarti dasar orientasinya adalah “filosofis atau spekulatif”. Tokoh teori disiplin mental adalah Plato dan Aristoteles. Teori disiplin mental ini menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa harus didisiplinkan atau dilatih.



2. Teori Behaviorisme

Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul. Beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu:

a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil

b. Bersifat mekanistis

c. Menekankan peranan lingkungan

d. Mementingkan pembentukan reaksi atau respons

e. Menekankan pentingnya latihan

Ada beberapa teori belajar yang termasuk pada rumpun behaviorisme ini, antara lain:

a. Teori Koneksionisme

Menurut teori belajar ini, belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama.

Selanjutnya, dalam teori koneksionisme dikemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut:

1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)

Dimana hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Implikasi praktis dari hukum ini adalah, bahwa keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan.

2) Hukum Latihan (Law of Exercise)

Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu.

3) Hukum Akibat (Law of Effect)

Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya,

b. Teori Pengkondisian (Conditioning)

Teori pengkondisian (conditioning) merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov (1849-1936). Ia adalah ahli psikologi-refleksologi dari Rusia.

c. Teori Penguatan (Reinforcement)

Kalau pada teori pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah perangsangnya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya. Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pada anak itu dengan nilai yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi. Hadiah itu me-reinforce hubungan antara stimulus dan respons.

d. Teori Operant Conditioning

Psikologi penguatan atau “operant conditioning” merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme dan “conditioning”. Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses “conditioning” yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku adalah karena adanya hubungan antara stimulus dengan respons.

3. Teori Cognitive Gestalt-Filed

Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif. Menurut teori ini, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) dan bukan respons.

Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan.

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental. Rumpun psikologi Gestalt bersifat molar, yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu keterpaduan.

Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah:

a. Belajar itu berdasarkan keseluruhan

Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.

b. Anak yang belajar merupakan keseluruhan

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.

c. Belajar berkat insight

Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta.

d. Belajar berdasarkan pengalaman

Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu.

C. Prinsip-Prinsip Pengajaran

Tugas guru mengelola pengajaran dengan lebih baik, efektif, dinamis, efisien, ditandai dengan keterlibatan peserta didik secara aktif, mengalami, serta memperoleh perubahan diri dalam pengajaran. Ada beberapa prinsip pengajaran diantaranya adalah:

Prinsip Aktivitas

Pengalaman belajar yang baik hanya bisa didapat bila peserta didik mau mengaktifkan dirinya sendiri dengan bereaksi terhadap lingkungan. Belajar yang berhasil mesti melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik maupun aktivitas psikis. Aktifitas fisik adalah peserta didik giat dan aktif dengan anggota badan. Dalam prinsip ini, maka tugas guru dalam mengajar antara lain:

Prinsip Motivasi

Motivasi berasal kata motive–motivation yang berarti dorongan atau keinginan, baik datang dari dalam diri (instrinsik) maupun dorongan dari luar diri seseorang (ekstrinsik). Motif atau biasa juga disebut dorongan atau kebutuhan, merupakan suatu tenaga yang berada pada diri individu atau siswa, yang mendorongnya untuk berbuat dalam mencapai suatu tujuan. Beberapa cara untuk menumbuhkankembangkan motivasi pada siswa adalah:

Prinsip Individualitas (Perbedaan Individu)

Setiap manusia adalah individu yang mempunyai kepribadian dan kejiwaan yang khas. Secara psikologis, prinsip perbedaan individualitas sangat penting diperhatikan karena:

a. Setiap anak mempunyai sifat, bakat, dan kemampuan yang berbeda

b. Setiap individu berbeda cara belajarnya

c. Setiap individu mempunyai minat khusus yang berbeda

d. Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda

e. Setiap individu membutuhkan bimbingan khusus dalam menerima pelajaran yang diajarkan guru sesuai dengan perbedaan individual

f. Setiap individu mempunyai irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda

Maksud dari irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda adalah bahwa siswa belajar dalam kelas dalam usia perkembangan. Masing-masing siswa tidak sama perkembangannya, ada yang cepat ada yang lambat maka guru harus bersabar dalam tugas pelayanan belajar pada anak didiknya.

Prinsip Lingkungan

Lingkungan adalah sesuatu hal yang berada di luar diri individu. Lingkungan pengajaran adalah segala hal yang mendukung pengajaran itu sendiri yang dapat difungsikan sebagai sumber pengajaran atau sumber belajar. Diantaranya; guru, buku, dan bahan pelajaran yang menjadi sumber belajar.



Prinsip Konsentrasi

Konsentrasi adalah pemusatan secara penuh terhadap sesuatu yang sedang dikerjakan atau berlangsungnya suatu peristiwa. Konsentrasi sangat penting dalam segala aktivitas, terutama aktivitas belajar mengajar.

Prinsip Kebebasan

Prinsip kebebasan dalam pengajaran yang dimaksud adalah kebebasan yang demokratis, yaitu kebebasan yang diberikan kepada peserta didik dalam aturan dan disiplin tertentu. Dan disiplin merupakan suatu dimensi kebebasan dalam proses penciptaan situasi pengajaran. Seorang guru dituntut berusaha bagaimana menerapkan suatu metode mengajar yang dapat mengembangkan dimensi-dimensi kebebasan self direction, self discipline,dan self control.

Prinsip Peragaan

Alat indera merupakan pintu gerbang pengetahuan. Peragaan adalah menggunakan alat indera untuk mengamati, meneliti, dan memahami sesuatu. Pemahaman yang mendalam akan lahir dari analisa yang komprehensif sehingga menghasilkan gambaran yang lengkap tentang sesuatu.

Agar siswa dapat mengingat, menceritakan, dan melaksanakan suatu pelajaran yang pernah diamati, diterima, atau dialami di kelas, maka perlu didukung dengan peragaan-peragaan (media pengajaran) yang bisa mengkonkritkan yang abstrak.

Prinsip Kerjasama Dan Persaingan

Kerjasama dan persaingan adalah dua hal berbeda. Namun dalam dunia pendidikan (prinsip pengajaran) keduanya bisa bernilai positif selama dikelola dengan baik. Persaingan yang dimaksud bukan persaingan untuk saling menjatuhkan dan yang lain direndahkan, tetapi persaingan yang dimaksud adalah persaingan dalam kelompok belajar agar mencapai hasil yang lebih tinggi tanpa menjatuhkan orang atau siswa lain.

Prinsip Apersepsi

Apersepsi berasal dari kata ”Apperception” berarti menyatupadukan dan mengasimilasikan suatu pengamatan dengan pengalaman yang telah dimiliki. Atau kesadaran seseorang untuk berasosiasi dengan kesan-kesan lama yang sudah dimiliki dibarengi dengan pengolahan sehingga menjadi kesan yang luas. Kesan yang lama itu disebut bahan apersepsi.

Apersepsi dalam pengajaran adalah menghubungan pelajaran lama dengan pelajaran baru, sebagai batu loncatan sejauh mana anak didik mengusai pelajaran lama sehingga dengan mudah menyerap pelajaran baru.

Prinsip Korelasi

Korelasi yaitu menghubungkan pelajaran dengan kehidupan anak atau dengan pelajaran lain sehingga pelajaran itu bermakna baginya. Korelasi akan melahirkan asosiasi dan apersepsi sehingga dapat membangkitkan minat siswa pada pelajaran yang disampaikan.

Prinsip Efisiensi dan Efektifitas

Prinsip efisiensi dan efektifitas maksudnya adalah bagaimana guru menyajikan pelajaran tepat waktu, cermat, dan optimal. Alokasi waktu yang telah dirancang tidak sia-sia begitu saja, seperti terlalu banyak bergurau, memberi nasehat, dan sebagainya. Jadi semua aspek pengajaran (guru dan peserta didik) menyadari bahwa pengajaran yang ada dalam kurikulum mempunyai manfaat bagi siswa pada masa mendatang.

Prinsip Globalitas

Prinsip global atau integritas adalah keseluruhan yang menjadi titik awal pengajaran. Memulai materi pelajaran dari umum ke yang khusus. Dari pengenalan sistem kepada elemen-elemen sistem. Pendapat ini terkenal dengan Psikologi Gestalt bahwa totalitas lebih memberikan sumbangan berharga dalam pengajaran.

Prinsip Permainan dan Hiburan

Setiap individu atau peserta didik sangat membutuhkan permainan dan hiburan apalagi setelah terjadi proses belajar mengajar. Bila selama dalam kelas siswa diliputi suasana hening, sepi, dan serius, akan membuat peserta didik cepat lelah, bosan, butuh istirahat, rekreasi, dan semacamnya. Maka guru disarankan agar memberikan kesempatan kepada anak didik bermain, menghibur diri, bergerak, berlari-lari, dan sejenisnya untuk mengendorkan otaknya.



Beberapa Hal Pokok Dalam Proses Belajar Mengajar

Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah. Mengajar dilakukan oleh guru, sedangkan siswa belajar. Menurut Saiful sagala pembelajaran ialah membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar, yang kesemua menjadi penentu dalam keberhasilan pendidikan. Menurut Corey pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia ikut serta dalam tingkah laku dalam kondisi khusus atau menghasilakn respon terhadap situasi tertentu. Menurut Omar Hamalik pembelajaran adalah

1. upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik.
2. pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik.
3. pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi masyarakat sehari-hari.



Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut satu sama lain saling tergantung. Walaupun komponen-komponennya cukup baik, seperti tersedianya prasarana dan sarana serta biaya yang cukup, juga ditunjang dengan pengelolaan yang andal maka pencapaian tujuan tidak akan tercapai secara optimal. Demikian pula bila pengelolaan baik tetapi di dalam kondisi serba kekurangan, akan

mengakibatkan hasil yang tidak optimal.

Unsur-Unsur Pendidikan

Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :

1) Subjek yang dibimbing (peserta didik).

Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya

2) Orang yang membimbing (pendidik).

Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan masyarakat/organisasi.

3) Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).

Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanifulasikan isi, metode serta alat-alat pendidikan. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).

4) Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.

5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).

Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan.

6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).

Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.

7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).

Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.

Tugas dan Peran Guru dalam Proses Belajar-Mengajar

Kegiatan Proses belajar-mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles Of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partissipan, ekspeditor, perencana, suvervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor.

Tugas Guru

Tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua. Dimana ia harus menarik simpati dan menjadi idola para siswanya. Adapun yang diberikan atau disampaikan guru hendaklah dapat memotivasi hidupnya terutama dalam belajar. Bila seorang guru berlaku kurang menarik, maka kegagalan awal akan tertanam dalam diri siswa.

Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari "citra" guru di tengah-tengah masyarakat.

Peran Seorang Guru

a. Dalam Proses Belajar Mengajar

Sebagaimana telah di ungkapkan diatas, bahwa peran seorang guru sangar signifikan dalam proses belajar mengajar. Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai:

1) Demonstrator

2) Manajer/pengelola kelas

3) Mediator/fasilitator

4) Evaluator

b. Dalam Pengadministrasian

Dalam hubungannya dengan kegiatan pengadministrasian, seorang guru dapat berperan sebagai:

1) Pengambil insiatif, pengarah dan penilai kegiatan

2) Wakil masyarakat

3) Ahli dalam bidang mata pelajaran

4) Penegak disiplin

5) Pelaksana administrasi pendidikan

c. Sebagai Pribadi

Sebagai dirinya sendiri guru harus berperan sebagai:

1) Petugas sosial

2) Pelajar dan ilmuwan

3) Orang tua

4) Teladan

5) Pengaman

d. Secara Psikologis

Peran guru secara psikologis adalah:

1) Ahli psikologi pendidikan

2) Relationship

3) Catalytic/pembaharu

4) Ahli psikologi perkembangan

Peran Pendidik dalam Proses Belajar-Mengajar

Peran guru dalam proses belajar-mengajar , guru tidak hanya tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manager belajar (learning manager). Hal ini sudah sesuai dengan fungsi dari peran guru masa depan.

Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pengajaran, masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun oleh komputer yang paling modern sekalipun. Masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem, nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan Iain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut. Di sinilah kelebihan manusia dalam hal ini guru dari alat-alat atau teknologi yang diciptakan manusia untuk membantu dan mempermudah kehidupannya.

Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai:

1) Demonstrator

2) Manajer/pengelola kelas

3) Mediator/fasilitator

4) Evaluator

Guru sebagai demonstrator

Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menetukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.


Guru Sebagai Pengelola Kelas

Mengajar dengan sukses berarti harus ada keterlibatan siswa secara aktif untuk belajar. Keduanya berjalan seiring, tidak ada yang mendahului antara mengajar dan belajar karena masing-masing memiliki peran yang memberikan pengaruh satu dengan yang lainnya. Keberhasilan/kesuksesan guru mengajar ditentukan oleh aktivitas siswa dalam belajar, demikian juga keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan pula oleh peran guru dalam mengajar.

Guru sebagai mediator dan fasilitator

Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar.

Guru sebagai evaluator

Dalam dunia pendidikan, setiap jenis pendidikan atau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan akan diadakan evaluasi, artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan tadi orang selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik.

Rencana Program Pembelajaran



Penyusunan program memberikan arah pada suatu program itu sendiri. Penyusunan program pembelajaran akan berujung pada persiapan mengajar sebagai produk program pembelajaran jangka pendek, yang mencakup komponen program kegiatan belajar dan proses pelaksanaan program.

Komponen program mencakup kompetensi dasar, materi standar, metode, teknik, media dan sumber belajar, waktu belajar, dan daya dukung lainnya.

Dalam mengembangkan persiapan mengajar terlebih dahulu harus diketahui arti dan tujuannya, serta menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat dalam persiapan mengajar.

Dalam persiapan mengajar harus jelas kompetensi dasar yang harsu dimiliki oleh peserta didik, apa yang harsu dilakukan, apa yang dipelajari,bagaimana mempelajari, serta bagaimana guru mengetahui bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi tertentu.

Fungsi persiapan pembelajaran adalag sebagai fungsi perencanaan, dan fungsi pelaksanaan.

Prinsip-prinsip pengembangan persiapan mengajar:

1. kompetensi yang dirumuskan dalam persiapan mengajar harus jelas.
2. persiapan mengajar harus sederhana dan fleksibel, serta dapat dilaknasanakan dalam kegiatan pembelajaran.
3. kegiatan-kegiatan yang disusun harus menunjang dan sesuai dengan kompetensi dasar.
4. persiapan mengajar harsu utuh dan menyeluruh.
5. harus ada koordinasi antar komponen pelaksana program di sekolah.

Rumusan Tujuan Pembelajaran


Tujuan pendidikan menggambarkan tentang idealisme, cita-cita keadaan individu atau masyarakat yang dikehendaki. Karenanya tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, sebab tidak saja memberikan arah kemana harus dituju, tetapi juga memberikan arah ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, alat/media, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.
Dengan sebuah rumusan tujuan pendidikan, maka proses pendidikan akan dengan mudah dinilai/diukur tingkat kebehasilannya. Keberhasilan pendidikan akan dengan mudah dan cepat dapat dilihat dari segi pecapai tujuan. Dengan tujuan juga mempermudah menyusun/menetapkan materi, metode dan alat atau media yang digunakan dalam proses pendidikan.


A. Konsep, Fungsi dan Sumber Tujuan Pendidikan



1. Konsep Tujuan Pendidikan

Tujuan adalah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum. Zais (1976:297) menegaskan bahwa sebagai komponen dalam kurikulum, tujuan merupakan bagian yang paling sensitif, sebab tujuan bukan hanya akan mempengaruhi bentuk kurikulum tetapi juga secara langsung merupakan fokus dari suatu program pendidikan.

Tujuan pendidikan ini sangat luas. Biasanya merupakan pernyataan tujuan pendidikan umum, yang dapat dipakai sebagai petunjuk pendidikan seluruh negara tersebut.

Beberapa istilah tujuan yang menggambarkan pada tingkat yang berbeda-beda, seperti: Aims yang menunjukkan arah umum pendidikan. Secara ideal, aims merefleksikan suatu tingkat tujuan pendidikan berdasarkan pemikiran filosofis dan psikologis masyarakat. Menurut Zais, (1976:298) aims untuk tujuan pendidikan jangka panjang yang digali dari nilai-nilai filsafat suatu Bangsa.

Di Indonesia kita kenal tingkatan/hirarkis tujuan itu dalam beberapa istilah seperti Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler, dan Tujuan Instruksional Umum dan Khusus. (Depdikbud, 1984/1985:5)

2. Tujuan Pembelajaran

Tujuan institusional/goal dan tujuan kurikuler dijabarkan lagi dalam tujuan pembelajaran, tujuan ini lebih konkret dan lebih operasional yang pencapaiannya dibebankan kepada tiap pokok bahasan yang terdapat dalam tiap bidang studi. Pada saat ini tujuan pembelajaran umum dikenal dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.

3. Fungsi Tujuan

Rumusan tujuan pendidikan yang tepat dapat berfungsi dan bermanfaat dalam kegiatan pengembangan kurikulum, minimal sebagai berikut:

1) Tujuan akan menjadi pedoman bagi disainer untuk menyusun kurikulum yang efektif, (Davies: 1976: 73, Pratt, 1980: 145) dengan demikian memberikan arah kepada para disainer kurikulum dalam pemilihan bahan pelajaran, yaitu bahan pelajaran yang menopang tercapainya tujuan pendidikan.

2) Tujuan merupakan pedoman bagi guru dalam menciptakan pengalaman belajar (Pratt, 1980: 145)

3) Tujuan memberikan informasi kepada siswa apa yang harus dipelajari (Pratt: 145, Davies: 73)

4) Tujuan merupakan patokan evaluasi mengenai keberhasilan program (proses belajar mengajar) (Pratt: 145, Daveis: 74)

5) Tujuan menyatakan kepada masyarakat tentang apa yang dikehendaki sekolah, apa yang hendak dicapai (Pratt: 145 – 146)



Dari uraian di atas jelas bahwa tujuan pendidikan merupakan patokan, pedoman orientasi bagi para pelaksana/pendesain pendidikan.



4. Sumber Tujuan

Kriteria yang yang hampir sama diajukan oleh Tyler (1949) yakni studi tentang pelajar, studi tentang kehidupan masyarakat di luar sekolah, dan saran-saran dari ahli mata pelajaran. Lebih jauh Tyler menekankan pendapatnya bahwa filsafat dan psikologi belajar merupakan “saringan” atau kriteria bagi penetapan lebih lanjut tujuan-tujuan pendidikan tersebut.

Menurut Zais (1976:301) sumber-sumber tujuan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni sumber empirik, sumber filosofi, dan sumber bidang kajian atau subject matter.

Smith, Stanley dan Shores (1957) mengajukan juga kriteria lain bagi penetapan tujuan yaitu keterwakilan, kejelasan, keterpertahankan, konsistensi dan fisibilitas.
Perumusan Tujuan Pendidikan

1. Klasifikasi Tujuan Pendidikan

Schubert (1986, 202-206) mengajukan empat tujuan pendidikan yaitu; (1)sosialisasi, (2)pencapaian, (3) pertumbuhan, dan (4)perubahan sosial. Sosialisasi merupakan tujuan yang harus dicapai anak didik agar mereka dapat hidup dengan baik dimasyarakat, dan dengan kebudayaannya.

Tujuan pendidikan pertumbuhan personal memerlukan penyesuai kurikulum yang mengakomodir kebutuhan pribadi, bakat, minat, dan kemapuan anak yang berbeda-beda. Perubahan sosial, menurut aliran ini sekolah dapat dan harus mengusahakan perbaikan sosial (Muhammad Ansyar, 1989:102).

2. Klasifikasi Tujuan Pembelajaran

Oleh karena sukar menetapkan tingkat suatu tujuan yaitu, apakah itu pada tingkat tujuan pendidikan nasional (aims), atau pada tingkat sekolah, atau ruang kelas, maka Zais (1976: 308-309) mengajukan tiga kategore (fakta, keterampilan, dan sikap) biasa dipakai sebagai cara utama untuk menyusun tujuan kurikulum (goals) dan tujuan pembelajaran (objectives).

Klasifikasi tujuan yang lebih sistematis telah dikemukakan Bloom (1956) dan Krathwohl, Bloom dan Masia (1964) seperti tertera dalam Zais (1976: 304-310) Tanner dan Tanner (1975:121-131). Tujuan pendidikan diklasifikasikan pada tiga ranah besar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Proses kognitif diklasifikasikan ke dalam suatu urutan hirarkis, dari tingkat berpikir yang sederhana ke tingkat intelektual yang lebih kompleks:

1) Pengetahuan

2) Pemahaman

3) Aplikasi

4) Analisis

5) Sintesis

6) Evaluasi



Ranah afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan demensi perasaan, tingkah laku, atau nilai, seperti apresiasi terhadap karya seni, berbudi pekerti luhur, dan lain-lain.

Ranah afektif dibagi menjadi lima tingkatan yang bergerak dari kesadaran yang sederhana menuju kekondisi di mana perasaan memegang peranan penting dalam mengontrol tingkah laku:

1) Menerima

2) Responsif

3) Menghargai

4) Organisasi

5) Karakteristik



Ranah psikomotor dibagi empat tingkatan, dari yang paling sederhana kepada tingkat yang paling kompleks, yaitu:

1) Observasi

2) Meniru

3) Praktek

4) Adaptasi.



3. Kriteria Perumusan Tujuan Pembelajaran

Dalam pendahuluan telah dikemukakan betapa pentingnya tujuan pendidikan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum dan pengajaran. Tujuan merupakan dasar orientasi sekaligus sesuatu yang akan dicapai dalam semua program kegiatan pendidikan. Seperti dikatakan Hilda Taba dalam (Davies, 1976: 56)



Merumuskan tujuan seperti dijelaskan sebelumnya harus runtun yaitu tujuan umum dijabarkan pada tujuan khusus. Selanjut tujuan khusus diteliti jenis-jenisnya, dinilai kepentingannya dan dicek berdasarkan kriteria, syarat-syarat tujuan lebih formal dan terinci, sehinga setiap komponen yang ada tidak terlampaui.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini:

1. Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya (Pratt, 1980:185). Tujuan-tujuan yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisayaratkan oleh tujuan tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuan kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu.
2. Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuan hanya berguna jika ia dirumuskan secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian.
3. Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan kurikulum yang kualifait (Pratt, 1980:184).
4. Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976:17) dan berfungsi (Pratt,1980:186). Masalah kerelevansian berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau masalah praktis yang dihadapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi mafaat bagi masyarakat di samping pelajar.
5. Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga, tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu program kegiatan dikatakan efektif jika hasil yang dicapai dapat sesuai atau paling tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan.
6. Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976:18). Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976:18) menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b) aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke keharomonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup.

salam : calon mantu...Yuna

1 komentar:

  1. "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.
    Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
    Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
    Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
    Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu."

    Setelah TUHAN mengucapkan firman itu kepada Ayub, maka firman TUHAN kepada Elifas, orang Teman: "Murka-Ku menyala terhadap engkau dan terhadap kedua sahabatmu, karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.
    Oleh sebab itu, ambillah tujuh ekor lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan dan pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu persembahkanlah semuanya itu sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub."
    Maka pergilah Elifas, orang Teman, Bildad, orang Suah, dan Zofar, orang Naama, lalu mereka melakukan seperti apa yang difirmankan TUHAN kepada mereka. Dan TUHAN menerima permintaan Ayub.

    Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.
    Kemudian datanglah kepadanya semua saudaranya laki-laki dan perempuan dan semua kenalannya yang lama, dan makan bersama-sama dengan dia di rumahnya. Mereka menyatakan turut berdukacita dan menghibur dia oleh karena segala malapetaka yang telah ditimpakan TUHAN kepadanya, dan mereka masing-masing memberi dia uang satu kesita dan sebuah cincin emas.
    TUHAN memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu; ia mendapat empat belas ribu ekor kambing domba, dan enam ribu unta, seribu pasang lembu, dan seribu ekor keledai betina.
    Ia juga mendapat tujuh orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan;
    dan anak perempuan yang pertama diberinya nama Yemima, yang kedua Kezia dan yang ketiga Kerenhapukh.
    Di seluruh negeri tidak terdapat perempuan yang secantik anak-anak Ayub, dan mereka diberi ayahnya milik pusaka di tengah-tengah saudara-saudaranya laki-laki.
    Sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya; ia melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai keturunan yang keempat.
    Maka matilah Ayub, tua dan lanjut umur.

    BalasHapus